Sahabat Bagai Kepompong

2.3K 630 50
                                    

"Daniel!" panggil Tiffany begitu malam telah datang di Paris dan pukul delapan malam toko sudah mulai tutup. Tercium bau pizza yang baru matang dan sempat dibagikan chef pada tiga mahasiswa yang memesannya di menit-menit terakhir.

Pria itu, yang mengenakan kaos putih berlabel merk dari Prancis menerima panggilan dari Tiffany. Ia menoleh dan dengan mata menyipit berusaha menarik gambar dari pemilik suara yang memanggilnya.

"Tiffany?" Mata hitam Daniel terfokus pada wanita itu. Ia tertegun, diam dan membeku seperti udara malam itu. Pohon di belakangnya sudah berdaun lebat tanda musim semi datang. Lalu pelukan dari gadis yang memanggilnya, begitu hangat seperti musim panas di Swiss.

"Daniel," parau suara Tiffany saat memanggil nama pria itu untuk kedua kalinya. Menahan tangis selama lima jam, akhirnya air mata mendesak keluar seperti air keran yang rusak penutupnya.

Daniel memberikan pizza yang sudah jelas tak diberi saus tomat pada Jerry. Tangan kanannya menepuk pundak Tiffany. "Kenapa? Dylano lagi?" Seakan tak ada hal lain yang bisa membuat Tiffany menangis, Daniel langsung terpaku pada nama itu. Tiffany menggeleng, masih menangis ia. "Lalu apa?"

"Kenapa kamu gak bilang sama aku soal Kak Ema? Aku merasa egois, Dan. Kamu selalu jadi teman kalau aku rindu Dylano, tapi kamu ... hanya menelan sendiri kehilangan Kak Ema," jelas Tiffany. Bibir Daniel bergerak ke kanan dan ke kiri menahan emosi.

Daniel tak bisa menangis sedih, tak bisa juga marah memuncak akibat Tiffany menyebut nama yang mencederai perasaan juga harga diirnya sebagai pria.

"Tak apa. Dia meninggalkanku jauh sebelum Dylano meninggalkanmu. Aku sudah lebih baik." Tangan yang menepuk punggung, kini mengusap rambut hitam panjang Tiffany. "Itu hak dia, pilihan dia. Dia sudah bahagia dengan keluarganya. Sudah waktunya aku juga bahagia, kan?"

Tiffany melepas pelukannya. Ia terisak beberapa kali, lalu mengusap air matanya meski tak langsung kering. "Jadi karena itu kau berkencan dengan banyak wanita?"

Daniel menatap langit, ia mengambil harapan meski tak ada bintang di sana untuk menggantungkannya. "Aku hanya berusaha menaruh hati di tempat lain. Walau akhirnya gagal." Senyumnya melengkung sedikit.

"Tak usah memaksa. Jangan paksa hatimu," timpal Tiffany.

Jerry dan Firmin masih menyandarkan punggung di tembok hitam toko pizza. Pemiliknya sudah menutup etalase. Jerry menyalami sebelum pemilik itu menutup pintu. "Merci," kata Jerry tanda hormat setelah pemilik sempatnya melayani mereka padahal jam tutup sudah tiba.

Dialog Tiffany dan Daniel masih berlanjut ditemani suara petika gitar akustik berpadu biola dari pengamen jalanan tak jauh dari mereka. Lagu Romance yang dinyanyikan Juliette Gréco seakan menambah suasana kepiluan dari dua kekasih yang ditinggalkan.

Dari memberi hidup sampai mati begitu banyak 
De tanto darle vida a la muerte 

Kami membunuh kehidupan 
Fuimos matando a la vida 

Itu lari ketakutan, 
Que echó a correr despavorida, 

Keberuntungan menangis datang.
Llorando llegó la suerte.

Sejak malam notaris turun 
Desde la noche bajó el notario 

Dengan tiga pedang keheningan, 
Con tres sables de silencio, 

Dan cinta telah tertidur 
Y se ha dormido el amor 

Dari setiap momen halus.
De cada sutil momento.

Karena bulan yang begitu banyak 
A fuerza de tanta luna 

"Dengar, aku tak akan menyerah. Bukannya Tuhan sudah berjanji, setiap manusia ada jodohnya sendiri. Jika itu bukan Ema untukku, atau Dylano untukmu. Kenapa kita tidak kita cari?" ajak Daniel.

Darah Tiffany memanas, berusaha bertahan dari malam yang udaranya dingin. Kaki dan tangannya bergetar. Apa ia harus keluar dari penderitaan yang indah ini. "Dylan benar tak akan kembali?" tanya gadis itu yang masih ingin meyakini jika itu mimpi.

Usapan hangat dari telapak tangan Daniel di pipinya seakan membangunkan ia dari pikirannya yang salah. "Ema tak kembali. Keluarganya sudah sempurna. Tak perlu cari tahu bagaimana dengan Dylano. Jangan pernah menginginkan melihatnya lagi. Kau akan lebih sakit dari ini. Percayalah, aku merasakannya."

Suara musik berpadu obrolan orang-orang yang berjalan menuju apartemen mereka. Angin meniup dedaunan. Suara gelas anggur yang berbenturan dari restoran di seberang mereka seakan memberitahu jika atmosfer sedih itu tak sampai pada lingkungan sekitar.

"Hanya kamu yang menjadi murung. Lihat, apa salahnya kota ini? Udaranya bersih, orangnya ramah, orang bebas berpendapat di sini. Lalu, kenapa kita masih harus terpenjara pada cinta yang sama? Mereka sudah pergi Tiffany, aku dan kamu juga sudah masuk dalam dunia baru. Sekarang tinggal perasaan kamu juga harus ikut pergi."

"Ingat tujuan kamu ke sini untuk apa?  " Tangan Daniel menyentil jidat Tiffany. Kemudian menyimpan telapak tangannya di bahu gadis itu.

"Dulu kamu butuh Dylano karena hanya sendiri. Lihat! Ada aku, Jerry, Firmin dan Laurace. Kamu selesai magang, selesa menulis tesis, mengirim uang pada keluargamu dan lusa kamu sidang tesis. Kamu hebat, terlalu hebat hanya untuk merana karena cinta. Kamu gak butuh Dylano, semua itu kamu raih sendirian."

Giliran Tiffany. Ia cubit gemas pipi Daniel. "Kamu juga. Jangan minum obat tidur lagi. Kamu harus selesai remidi semester depan. Meski kita tak bisa lulus sama-sama, aku harap ketika ijazahku keluar Oktober nanti, kamu juga dapat kelulusan."

Daniel mendengus. Tawanya tertahan pada kenyataan akibat nilai akademisnya. Ia harus tertinggal di M1 akibat nilainya kurang dari sepuluh. "Ternyata cinta lebih berdampak pada pria daripada wanita. Baik, aku akan naik M2 semester depan. Aku akan sembuh dan ke psikiater," tekadnya.

Tiffany menggerakkan telunjuknya di depan wajah Daniel. "Jangan mentang-mentang biaya kuliah di sinu murah lalu kamu senang mengulangnya," omelnya dalam bahasa Prancis hingga Jerry dan Firmin ikut mengerti. Tawa terdengar diantara kedua pria itu.

"Aku antar kau sidang lusa. Takut kau menangis karena diwawancara banyak profesor," ledek Daniel.

Kali ini sandal biru Daniel jadi korban sepatu boots Tiffany. Kuat sudah gadis itu menginjak kaki Daniel hingga keluar teriakan dari mulutnya. "Aku tidak menangis, ya? Waktu itu aku menangis karena takut gagal."

Peristiwa tangisan Tiffany setelah keluar dari kelas saat ujian oral masih menjadi bahan ledekan paling ampuh untuk Daniel. Segala es krim dekat kampus berbagai rasa Daniel belikan agar Tiffany berhenti menangis sambil memeluk patung di tengah lapangan kampus.

Awal semester memang menjadi paling aneh. Apalagi apa yang ditulis di ujian tulis sama sekali tak ditanyakan profesor saat ujian oral. Tiffany merasa ujiannya gagal, kerangka teori yang ia susun mungkin tak menarik minat hingga tak dibahas sama sekali saat ujian oral. Profesornya hanya menanyakan tentang kota kelahiran Tiffany dan bisnis apa yang paling besar di Bandung.

Nyatanya Tiffany hanya mengalami culture shock. Ketika nilai ujian keluar, ia mendapat nilai delapan belas. "Sekarang aku tahu, profesorku tak peduli dengan teori yang aku buat. Ia hanya peduli, apa aku bisa berguna bagi kotaku setelah pulang nanti," kata Tiffany sambil menggaruk kepalanya.

"Sudahlah, aku pasti bisa lusa. Tak perlu antar aku. Lagipula aku harus pulang ke Indonesia sendiri karena kamu masih kuliah." Gadis itu memasukan tangan pada jaketnya kemudian berbalik dan berjalan menuju apartemen ia tinggal.

"Secepat itu pulangnya? Tak ingin lanjut doktoral?" tanya Firmin.

Fany menggeleng. "Aku rindu polusi, panas dan gorengan," timpal Tiffany. Ia mengangkat tangan lalu menggerakkannya di udara tanda mengucapkan perpisahan pada tiga pria yang masih berdiri di depan toko pizza.

Tangan Tiffany turun dan kembali masuk ke dalam jaket. "Aku tak butuh Dylan lagi. Sejauh ini, aku bisa sendiri."

❄️❄️❄️

Sepatu Tanpa Pasangan (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang