Pulang

1.9K 600 43
                                    

Berdiri diantara dua toko merk fashion Prancis - Bvlgari dan Gucci- Tiffany masih sabar menunggu kedatangan Daniel di sana meski ia agak ketakutan akan ketinggalan pesawat. Dua tahun lebih berpetualang di negeri orang untuk mencari pengalaman, akhirnya Tiffany bisa kembali ke Indonesia. Namun, ia hanya sendiri.

"Kayaknya aku gak bisa pulang sekarang. Terlalu menyenangkan hingga betah di sini." Begitu ucapan Daniel saat menolak pulang bersama Tiffany. Kecewa? Tentu! Mereka datang ke sana berdua dan malah ia biarkan Fany pulang sendirian. Syukur, Tiffany sudah terlanjur mandiri untuk berani menapaki alas pesawat sendirian.

"Maaf, lama!" seru Daniel terlihat tergesa-gesa keluar dari toko fashion mewah yang identik dengan huruf G-nya. Ia membawa sebuah tas kertas lumayan besar. Pria yang menolak pulang itu membelikan Fany oleh-oleh untuk keluarga. Katanya sebagai rasa bersalah karena tak bisa mengantar Fany pulang.

"Ini buat Pak Jatmika, Ibu Anjani sama Clara. Kamu gak aku beliin. Sengaja," katanya terdengar sangat menyebalkan di telinga Tiffany.

Gadis itu menolak menerima. "Ini berlebihan, Dan! Aku gak bisa terima. Ini kelewat mahal."

"Ini gak sampai batas pajak, kok! Gak usah takut, Lagipula aku lagi banyak uang, papah baru kirim kemarin dan ia bilang suruh beliin sesuatu buat kamu juga. Sudah, ambil!" paksanya. Meski ditolak juga jadi sayang barangnya. Daniel juga gak mungkin pakai. Dengan wajah malu, Fany terima saja.

Sampai pada batas antar, Daniel melihat jam di lengannya. "Kamu terbang jam setengah sembilan pakai Qantas, kan?" tanya Daniel memastikan jika Tiffany tidak akan salah naik pesawat.

"Aku tahu rutenya, kok! Gak perlu takut berlebihan kalau ujungnya kamu juga gak akan pulang," protes Daniel.

Kekehan Daniel terdengar begitu renyah. "Kali saja kalau salah pesawat sampai ke Dylano," godanya. Mendengar itu, Tiffany langsung jadikan Daniel sasaran tinju. Itu sama sekali tak lucu. "Sudah sana pergi. Satu jam lagi berangkat," saran Daniel.

Tiffany mengangguk. Ia ambil handle kopernya dari Daniel, "Katakan pada Laurace untuk datang atau telpon aku sesekali," pesan Fany. Jawaban Daniel berupa anggukan. "Satu lagi, tolong jangan datangi Kak Ema. Jangan nekat dan ganggu rumah tangganya. Kamu harus bisa lupain dia."

Lagi-lagi Daniel mengangguk. Awalnya memang datang ke Paris tujuan Daniel adalah Ema. Sekarang tidak, Daniel ingin menemukan tujuan hidupnya seperti Tiffany yang sudah bulat ingin membuka toko roti.

Akhirnya mereka berpisah dengan lambaian tangan. Tiffany berjalan masuk. Charles De Gaulle Airport ramai dengan suara-suara orang yang berbincang. Daniel melihat mantel Tiffany semakin menjauh hingga hilang dari pandangan. Lantai putih marmer menjadi alas Tiffany berjalan menuju terminal tempat ia akan naik burung besi besar yang mengantarnya pulang.

Masih ada railing kaca yang menjadi batas tempat ia berjalan juga vas-vas putih besar yang tingginya lebih dari setengah tubuh Tiffany. Di atas vas itu tumbuh tanaman hias seperti ilalang yang hijau menjulang ke atas dan runcing bagian ujungnya. Mata Tiffany mendongak dan melihat atap hitam di mana lampu LED tergantung saling berbaris tepat di atas kepala dengan jarak tertentu.

Akhirnya ia menaiki eskalator untuk menelusuri terowongan dengan tembok putih di terminal satu. Semakin depan ia melihat jam digital yang menunjukkan tujuan keberangkatan. "Aku tidak salah masuk," pikirnya yang hanya sendirian sepanjang eskalator itu hingga semakin lama suara ramai mulai terdengar lagi.

Tiffany tiba di ruang tunggu. Jendela-jendela kaca besar yang menghadap ke lapangan terbang sudah terlihat. Ia pikir kursi tunggu di ruangan itu telah penuh. Ada satu kursi yang kosong, lekas Tiffany datang ke sana untuk mengisinya.

"Akhirnya bisa duduk dulu!" seru Tiffany sambil bersandar pada bantalan sandaran merah kursi dengan penyangga perak itu. Matanya sempat melirik ke arah pramugari yang memakai baju serba merah dan syal di lehernya.

Kemudian gadis itu menunduk untuk melihat sepatunya, takut kotor. Ia terpaku dengan pemandangan lantai berpola kayu dan warna coklat muda.

Beberapa menit sebelum keberangkatan, Tiffany langsung mendengar pengumuman untuk masuk pesawat. Lekas gadis itu menarik kopernya dan berjalan menuju lorong putih di mana ada beberapa foto di tempel di dindingnya. Ada foto gedung dan lainnya yang terlihat indah.

Pesawat abu-abu dengan perut putih itu akan mengantar Tiffany terlebih dahulu ke Doha untuk transit. Dari jendela lonjong pesawat, ia bisa melihat awan mendung di luar sana. Fasilitas pesawat ini cukup lengkap dengan wifi juga layar video.

Enam jam lebih akhirnya pesawat itu berhenti di Doha. Ada waktu sekitar satu jam lebih untuk transit dan selama itu, ia bisa turun dari pesawat. Di samping tempat duduknya ada seorang nenek. Hal yang sangat ia syukuri karena orang tua sangat enak diajak bicara selama di perjalanan.

Langit begitu biru terlihat dari jendela pesawat. Berangkat pukul setengah Sembilan waktu Paris, Tiffany baru tiba pukul lima sore waktu Doha. Di Hamad international airport, ia turun dari pesawat lalu melintasi ruangan di dalam bandara yang terlihat mewah. Untuk sampai gate A6, Tiffany perlu menaiki skytrain. Ia hanya mengikuti penumpang lain yang wajahnya sama-sama Asia agar yakin mereka juga pulang ke Indonesia.

Turun dari skytrain dan masuk lagi ke dalam ruangan luas, matanya kali ini terpaku pada Teddy Bear kuning yang menjadi maskot airport itu. Satu penerbangan lagi dan ia akan menghirup udara tanah airnya.

Langit berganti malam dan kemudian dunia berputar terus hingga kembali lagi pagi. Daratan Jakarta mulai terlihat. Matahari baru naik di sisi timur. Roda pesawat diturunkan. Pesawat mulai menempel ke daratan. Turun dengan punggung yang terasa pegal, Tiffany tak sabar ingin cepat melewati pos pemeriksaan karena setelah itu, orang yang paling ia rindukan menunggu di pintu keluar bandara.

"Ayah!" panggil Tiffany begitu dari kejauhan sudah melihat fisik ayahnya yang memakai jaket bisbol. Bahkan begitu rindunya hingga air mata menetes sebelum ia benar bisa memeluk ayahnya itu.

Jatmika melirik ke arah suara. Ia lihat wajah putrinya yang selama dua tahun lebih hanya bisa ia lihat melalui foto yang dikirim di email. Meski era ponsel pintar sudah di mulai tahun 2014, Jatmika belum punya cukup uang untuk membelinya. Berhenti berdagang gorengan dan punya rumah sendiri saja sudah terasa lebih dari cukup.

"Ayah, Fany kangen ayah. Gak ada satu hari pun Fany gak inget sama ayah," adu gadis itu pada ayah yang sudah menjaganya sendirian sejak bayi. Jatmika mengusap rambut putri yang kini sudah beranjak dewasa.

"ya Allah, kamu bisa sampai pulang dan lulus kuliah bikin ayah bangga. Hebat kamu, Nak. Ayah asa mimpi ini teh!" Jatmika sama harunya dengan Tiffany hingga ikut menangis mengungkap rasa rindu.

🍁🍁🍁

Sepatu Tanpa Pasangan (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang