Membidik Tujuan

1.9K 599 39
                                    

Tiffany Anggraeni Putri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tiffany Anggraeni Putri

🍁🍁🍁

"Sampai sini saja?" tanya Daniel setelah mengantar Tiffany dengan sepeda listrik yang ia sewa dari dekat kampus. Pizza di tangan Tiffany masih tersisa kira-kira seperempatnya. Gadis itu memang sangat lambat dalam urusan makan, karena itu berat badannya selalu terjaga.

"Hari ini kamu mau ke mana? Nyari jodoh?" Pertanyaan Tiffany itu berhasil membuat Daniel terkesiap. Senyum melengkung di wajah Tiffany, setara manis dengan kilatan cahaya dari mata hitamnya yang memantulkan cahaya mentari. "Kalau punya pacar lagi juga gak apa-apa. Lagipula, Kak Ema sudah melepasmu."

Kembali Daniel harus merasakan hentakkan di jantungnya. Dia menunduk, menarik napas untuk meneguhkan rasa kemudian menatap hangat wajah sahabatnya itu. "Jadi kamu gak akan nampar aku lagi kalau deketin perempuan?" Daniel butuh kepastian jika posisinya aman.

Kali ini Tiffany mengangguk pasti. "Sana, cari cinta lain yang bisa membasuh luka," pinta Tiffany.

Lesung pipit Daniel terlihat begitu imut di wajah yang mulai berahang tegas sejalan usia yang semakin matang. "Sana, cari uang yang banyak. Biar mantan kamu itu tahu, kamu bisa maju tanpa dia," tegas Daniel.

Di jalan yang berjajar gedung dengan warna krem bergaya neoklasik, Daniel meninggalkan Tiffany di depan toko buah-buahan organik dengan payung jingga di depanya. Jelas di depan toko tertulis Primer Le Jardin D'Orsay juga ada foto buah-buahan tertempel di jendela kacanya.

Jalan tempat toko itu berada diberi nama sesuai pemilik tanahnya, Lady Tiby yang merupakan janda dari Malar sehingga menjadi Lady Malar. Tahun 1832, jalan ini diperpanjang hingga Quai d'Orsay. Jalan yang memiliki beberapa gedung bersejarah seperti gedung petugas pemadaman di Paris.

Dari sini, Tiffany masih harus menyeberang menuju toko roti lain milik Madame Berenice. Toko roti di sini terkenal karena croissantnya. Minggu lalu, Madame sempat memberikan Tiffany croissant dari sana. Sesuai dengan lidah orang Indonesia, lapisan garing di luar dan kelembutan berlapis di dalamnya.

Daniel bukannya tak ingin menurunkan Tiffany tepat di depan toko. Hanya saja mobil yang terparkir menghalanginya sehingga harus mencari bagian sisi jalan yang lengang.

Langkah Tiffany begitu terburu-buru menuju tempat ia menimba ilmu. Konon, kesuksesan itu bukan hanya didapat dari bangku kampus, tapi juga dipraktekan di kehidupan nyata.

Tiffany belajar bagaimana teori tentang hubungan antara manusia, teori yang ia praktekan dalam dunia ekonomi meski ia tak memiliki ilmu tentang bidang itu. Well, bukannya dalam jualan itu yang penting menarik pembeli dan caranya dengan mengerti pola pikir mereka. Ilmu hukum juga mempelajari tentang pola pikir dan perilaku manusia.

"Madame!" sapa Tiffany pada wanita tua yang sedang mengetes aroma dari croissantnya. Cara itu membuat Tiffany bingung. Apa hubungan kualitas croissant dengan wanginya. "Apa yang Madame lakukan?" tanya gadis itu sambil menyimpan tas selempangnya di atas meja.

"Wangi butter. Jika terlalu keras, artinya terlalu banyak. Terlalu banyak butter, croissantnya terlalu berminyak. Tiffany mencoba menghidu aroma butter yang dimaksud. Madame Berenice mengeluarkan salah satu croissant terbaik dengan croissant yang menurutnya kurang pas untuk dijual.

"Ini memang terlalu kuat," komentar Tiffany. Ia mencoba menyentuh bagian atas croissantnya yang terasa garing.

"Padahal dalam satu adonan," keluh Madame Berenice.

"Mungkin karena mengaduknya belum sempurna. Bukannya butter terlalu padat hingga mengaduk dengan tangan butuh lebih banyak tenaga." Jawaban Tiffany itu membuat Madame Berenice bangga. Gadis itu sangat mudah diajari dan itu membuat Madame Berenice yakin Tiffany bisa meneruskan resep rotinya.

Di toko yang hanya berjarak dua belas menit dengan jalan kaki menuju Tour Eiffel, Tiffany mulai belajar membuat roti yang resep originalnya ciptaan August Zang.

"Jadi croissant di Vienna berbeda dengan di Paris?" tanya Tiffany yang sedang menakar butter dari lemak hewani. Ia cukup merasa aman karena label halal di butternya. Selain itu, croissant ini dibuat tanpa rum.

Madame Berenice mengangguk. "Itu Kipferl. Roti bulan sabit dari Vienna. Dahulu kala, kami menyebutnya Viennoiserie. Banyak yang bilang kipferl adalah nenek moyang dari croissant karena mengingat Zang berasal dari Vienna," cerita Madame Berenice.

"Memang sama persis? Banyak yang bilang croissant itu simbol kemenangan orang Austria dalam perang melawan pasukan muslim." Sebenarnya Tiffany tak ingin membawa agama dalam pembicaraan ini. Apalagi mengingat betapa kebebasan berpendapat sangat terbuka di Paris.

"Aku tak tahu bagaimana sejarah kipferl. Hanya saja croissant sangat berbeda. Kipferl adalah roti padat yang lembut, sementara croissant adalah pastry," jelas Madame Berenice.

"Berbeda jelas," timpal Tiffany.

"Meski Zang berasal dari Vienna, ia membuat croissant di Paris." Madame Berenice memberikan alat pengocok yang bisa digunakan untuk menghancurkan butter.

"Kamu datang ke sini sendiri?" tanya Madame Berenice. Ia hanya melihat Tiffany berjalan sendirian dari jendela tokonya sebelum gadis itu berjalan masuk ke dalam.

"Daniel mengantarku. Dia dari jurusan yang berbeda hanya fakultas yang sama. Intinya kami sama-sama belajar hukum. Karena itu kadang ada mata kuliah di mana kami satu kelas," jelas Tiffany.

"Kau pacaran dengannya?" Pertanyaan Madame Berenice itu membuat Tiffany tertawa. "Kenapa? Kalian sama-sama sendiri."

"Kesatu, Daniel lebih seperti sahabat bagiku. Aku dekat dengan mantan pacarnya yang kini sudah menikah. Tak enak aku pada Kak Ema. Belum lagi saat kuliah dulu, ia sering meminjamiku uang untuk membeli buku. Kedua, Daniel bukan tipeku. Pria yang banyak tingkah, banyak bicara. Aku lebih suka pria yang tenang dan sedikit dingin," timpal gadis itu.

"Hanya dua?" Kerutan di sisi mata Madame Berenice terlihat semakin tegas ketika tersenyum jahil.

"Aku tak ingin mengingat ini. Hanya saja Daniel sangat taat pada janjinya. Ia janji pada mantan pacarku tidak akan jatuh cinta padaku lagi. Sampai kapan pun." Setiap kali harus membahas Dylano, napas Tiffany terasa berat. Namun, ekspresi wajah Madame Berenice memperlihatkan rasa penasaran.

"Dulu waktu kelas satu SMA, Daniel pernah mengejarku. Aku sudah menolak dan dia bersikeras. Aku sudah bilang punya pacar, dia dengan bodohnya mengatakan tak peduli dengan pacarku. Lain saat Daniel tahu jika pacarku itu Dylano," cerita Tiffany.

Madame Berenice merasa heran. Kali ini tawa renyah terdengar dari mulut Tiffany. "Terdengar konyol, tapi siswa SMA saat itu takut dengan Dylano. Daniel juga, ia tahu Dylano bukan saingan sepadan. Niatnya ingin minta maaf, tapi Dylano memukulinya hingga babak belur. Jadilah Daniel berjanji di depanku juga Dylan, dia tak akan jatuh cinta padaku. Lalu tak lama ia pacaran dengan Kak Ema."

"Kamu dekat dengan pacar Daniel itu?" tanya Madame Berenice. Ia seperti ingin mengerti hubungan antara Daniel, Ema dan Tiffany.

"Bunda bekerja jadi tukang setrika di rumah Kak Ema dan orangtua Kak Ema adalah ajudan ayah Daniel. Itu memang rumit. Aku juga bingung kenapa pada akhirnya, aku dan Daniel yang harus tertinggal dari kisah ini."

🍁🍁🍁

Sepatu Tanpa Pasangan (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang