Korban

1.9K 602 50
                                    

Salju turun tipis malam itu. New York dengan keindahan lampunya yang tak pernah mati. Suara klakson, alat musik dari para pengamen jalanan juga warna-warni pakaian orang yang tengah berjalan di atas trotoarnya. Langit ditatap dari bawah sini tak seluas jika dilihat dihamparan rumput. Gedung menjadi batas pandangan dan bintang menjadi salah satu yang langka di sini.

Jika saja dari balik keangkuhan betonnya, gedung bisa bicara

ia ingin menyapa benda di bawahnya, di sampingnya, di depannya

ia ingin bertanya, apa yang kalian banggakan dariku?

Hanya benda dingin yang bahkan tak sanggup mengutarakan rasaku sendiri

Saat kalian berlindung dari salju, aku tak bisa mengeluh akan rasa dinginnya

Saat kalian menjadikanku naungan, aku tak bisa menangis karena panasnya mentari

-Dylano Khani-

New York, Desember 2015

Segelas kopi masih menjadi temannya menikmati dimensi waktu kedua. Para pejuang siang telah beristirahat dan para pejuang malam baru keluar menuju rimba. Ia naikan lengan kemeja.

Catatan dengan sampul biru tua dan pena hitam tergeletak di rangka jendela. Ia menutup mata, berusaha menguji diri sejauh apa ia telah berubah. Hasilnya tetap sama. Dalam bayangan tetap ada untaian rambut hitam juga senyuman merah muda yang ranum seakan mengundang hasrat ingin memetiknya. 

"Kamu di mana? Jangan main jauh-jauh," hanya itu yang ia bisa katakan dalam kekosongan. Berharap bisa mendapat jawaban dan yang ia dapat hanya balasan dari kenangan.

"Nggak, kok! Aku sama Irma. Cuman beli buku. Sekarang Fany mulai berani main gak sama kamu saja. Mulai ada teman perempuan." Suara halus seperti pipit coklat mungil menggetarkan jiwa ketika hadir meski hanya berupa bayangan masa lalu. Dia terjebak, iya. Terjebak dalam fisik yang harus melanjutkan masa depan, tapi rasa yang tertinggal di masa lalu. 

Pintu kantornya diketuk. Ia turun dari rangka jendela. Berjalan ia menemui orang yang memintanya untuk makan malam di luar. Sudah Jadi rutinitas. Bukan sekali atau dua kali para pebisnis pergi makan malam di luar sana demi memperluas jaringan. Ia sudah lelah. Pria yang biasa nyaman dengan kesendirian, kini menjelajah menaklukan karakter banyak manusia yang mengejar uang dan kesuksesan. Semua demi satu tujuan, nama keluarga. 

"Pukul berapa?" tanyanya sambil memijiti tengkuk. Seseorang memasangkan jas untuknya. Ia kini bersiap untuk bermain drama bisnis lagi.

Turun dari lift khusus yang kotak besinya dicat dengan warna emas dan pintunya memiliki ukiran singa serta ivy, ia berjalan keluar gedung. Barisan orang yang menyambutnya menunduk memberikan tanda penghormatan. Tak seorangpun di sana, kecuali para pejabat perusahaan berani menatap wajahnya secara langsung. Mereka hanya tahu setampan apa dia dari foto-foto majalah bisnis dunia. 

"Sir," seorang staff membuka pintu mobil bagian belakang. Pria itu masuk ke dalamnya setelah membuka kancing jas untuk menjaga benda itu agar tak kusut. Salah satu restoran di mall terkenal di Manhattan menjadi tempat pertemuannya dengan salah satu petinggi perusahaan dari Dubai. Kini ia menjejal dunia pertambangan, mengukur sejauh apa potensinya.

Matanya memandang ke luar jendela mobil dengan kaca anti peluru. Barisan pengamanan mengikutinya dari belakang. Ah, ia ingin kabur sesekali. Ponselnya berdering beberapa kali. Melihat nama ayahnya di layar, ia semakin merasa berat di pundak juga dada. 

"Dylan, kamu hari ini berhasil mendapat saham perusahaan energi itu, kan?" tanya pria di ujung sana yang ia panggil papah, tapi hanya memberikannya beban.

"Tentu. Seperti yang papah inginkan." Hanya itu jawaban Dylano, datar dan dingin. Tak perlu ada pembicaraan panjang antara mereka. Papahnya hanya butuh jawaban iya atau tidak. Soal kabar atau joke harian yang tak menghasilkan uang, hanya sampah tak berarti bagi papahnya.

Lampu merah menyala di perempatan Wall Street. Sudut matanya melirik ke arah bendera Amerika yang berkibar terkena angin akibat kencangnya kendaraan yang lewat dari jalur samping. Ketika bola matanya menurun, Dylano melihat seorang pria tengah tertawa.

Di depan pria tadi, ada seorang wanita berdiri membelakangi Dylano. Wanita itu melompat-lompat lucu hingga rambut panjang hitamnya bergoyang. Mantel hijau lumut yang ia kenakan meredup akibat gelap malam yang tak ingin kalah dari cahaya lampu. Pikiran Dylano mengawang. Meski bukan hanya wanita itu yang memiliki rambut panjang lurus berwarna hitam juga sikapnya yang sering melompat-lompat lucu, adegan itu tetap memancing ingatannya atas orang yang sama.

"Tiffany," panggil Dylano dengan suara berat. Mobilnya kembali melaju meninggalkan kenangan itu di sana. 

Sejurus kemudian, wanita dengan mantel hijau lumut itu berbalik. Matanya mengedip-ngedip heran. "Kenapa kamu?" tanya Daniel yang merasa gagal mengambil foto akibat Tiffany berhenti melompat dan malah berbalik. Jadilah hasil fotonya seperti penampakan alien.

"Ada yang manggil aku, dengar gak?" tanya Tiffany. Daniel melirik ke seberang di mana mobil-mobil yang tadi sejenak berhenti karena lampu merah, sudah melaju kencang membelas perempatan. Jalur di sampingnya, kini kosong akibat terhalang lampu lalulintas.

"Makanya banyak istighfar! Itu pasti jin ngikut dari Bandung ke sini," kelakar Daniel. Belum puas sepertinya ia kena tebas tas Tiffany. Syukur karena hari ini merknya seharga dua puluh juta, Daniel selamat dari tebasannya. 

🍁🍁🍁

Sepatu Tanpa Pasangan (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang