Kenapa?

2.8K 714 29
                                    

"Jadi dia bukan pacar kamu?" Alis Laurace terangkat ketika Fany dengan tegasnya mengaku jika hubungannya dengan Daniel hanya sebatas teman.

"Oui, kami licence di université yang sama. Tahulah, rekan satu negara."

Laurace mengunci pintu apartemen. Malam ini mereka berniat menembus hujan salju di akhir tahun demi mendapat bahan makanan. Tiga lapis pakaian Fany kenakan sebagai pelindung dari dinginnya musim dingin.

Perjalanan ini menyimpan cerita tak terduga. Ada pengalaman yang berbeda dari saat di kampung halaman. Jejak kehidupan para petualang pada kehidupan yang gemilang.

Di tengah kota dengan banyak sejarah tercipta. Fany mulai menyusun masa depan yang lebih menjanjikan. Ia menuntut ilmu dengan menjadi tamu dan menemukan teman baru. Meski, ia tahu kehidupan tak semerdu lagu.

Satu per satu anak tangga mereka turuni dari lantai empat di mana kamar sewa mereka ada. Sepatu sudah mereka kenakan sejak dari kamar. Puncak musim dingin membuat alas kaki tak memiliki pilihan selain dikenakan meski di dalam ruangan. Hal ini sangat umum sehingga Fany tak merasa bersalah lagi.

Mereka sempat berhenti karena Laurace menerima panggilan dari temannya. "D'accord, s'il te plaît, dis-le-moi." Laurace mengakhiri telpon yang masuk ke ponselnya sambil menutup pintu kaca dengan bingkai hitam. Begitu menutup pintu mereka langsung menginjakkan kaki di trotoar yang alasnya terbuat dari batu alam disusun berbaris sempurna dan sedikit licin karena suhu yang dingin.

Fasad rumah sepanjang jalan 39 Rue de La Harpe didominasi dengan warna putih. Bukannya tak ingin mengganti warna, demi kelestarian budaya, pemerintah memperbolehkan setiap bangunan tua mengecat rumah dengan warna asli.

"Tu as un project pous passer  le weekend?" tanya Laurace ketika mereka mulai berjalan ke arah utara. Fany memasukan tangannya ke dalam kantong mantel coklat. Sementara Laurace yang berasal dari daerah dingin di dekat Swiss masih terlihat santai menghadapi salju yang turun dan membekukan udara. 

Mereka selalu berbincang dalam Bahasa Prancis. Laurace tak mau dan tak bisa berbicara Bahasa Inggris. Sudah watak orang Prancis kebanyakan.

"Bukankah setiap weekend aku selalu menghabiskan waktu di apartemen?" Jam menunjukkan pukul sepuluh malam dan cafe serta resto sepanjang jalan itu masih menunjukkan aktivitas meski hujan salju lumayan lebat.

Mobil-mobil terparkir di sisi jalan. Kanan dan kiri mereka terlindung bangunan bergaya Haussmann dengan fasad sederhana dan jendela-jendela persegi panjang berbalkon cantik. Tak jelas yang mana pohon pir atau ek gabus yang berbaris di batas trotoar dengan jalan. Pohon-pohon penghias kota itu kehilangan daunnya selama musim dingin dan berganti dengan salju putih yang terjebak diantara ranting.

"Kamu tak punya pacar?" tanya Laurace. Gadis berambut hitam dan keriting itu tak sekali pun pernah melihat Fany bersama seorang pria selain Daniel. "Dengan wajah secantik ini, kamu bisa memiliki banyak pria."

Sepatu boot Fany sempat terselip diantara batu jalan yang sedikit rusak akibat sering dilalui mobil. Jalan itu akan diperbaiki besok pagi oleh pemilik gedung.

Suara keras orang yang mengobrol terdengar dari meja di sisi trotoar tempat restoran Pizza Sarno berada. Itu alasan Fany tak mau berjalan di trotoar jalan ini apalagi malam hari.

"Dulu punya, aku baru putus mungkin dengannya," jawab Fany. Matanya fokus pada jalan di depan. Ia selalu takjub dengan gedung di sini yang sangat lurus tanpa ceruk antar bangunan setelah kebijakan Haussmann dan Napoleon III diberlakukan. Konon ini alasan tingginya kualitas hidup masyarakat kota besar ini.

Di pertigaan ada toko crepes yang juga menjual partisserie lainnya. Papan nama tokonya yang berwarna jingga terlihat mencolok dari kejauhan, kontras dengan warna lantai atasnya yang putih. Di sana mereka berhenti sejenak untuk membeli pengganjal perut sebelum melewati 3,5 kilo meter jalan menuju toko bahan makanan halal.

Sepatu Tanpa Pasangan (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang