Ruang Dimensi Kita Sendiri

1.8K 598 67
                                    

Gasibu ternyata bukan berasal dari kata gazeebo. Nama itu sebenarnya nama pengganti setelah dulu dinamai Lapangan Wihelmina. Gasibu kepanjangan dari Gabungan Sepakbola Indonesia Bandung Utara. Dulu lapangan itu digunakan oleh para pesepak bola dari daerah Bandung Utara. Tahun 2015, lapangan itu menjadi tempat Fany mengomeli Daniel.

"Sudah puas?" tanya Daniel setelah tak mendengar lagi kalimat umpatan dari sahabatnya. Fany tak menjawab. Wajahnya masih memandang ke arah Gedung Sate. Daripada mendengar ocehan Daniel, Fany lebih suka menghitung sate di atas atapnya. Apa benar ada enam sesuai dengan biaya pembuatannya (enam juta gulden).

Daniel main menarik tangan Tiffany. "Apa sih Daniel?" tanya Tiffany bingung. Ia ikuti dengan pasrah pria itu. "Beli kuaci," jawabnya.

Pria itu tak main-main. Benar ia membeli kuaci dan tissue. Duduk di trotoar tanpa alas apapun, mereka menikmati makan kuaci. "Kayaknya lebih enak kue balok sama teh manis anget," protes Tiffany.

Fany membuka cangkang biji bunga matahari itu dengan cara menggigit menggunakan gigi serinya. Di atas tissue yang Daniel gelar, cangkangnya dikumpulkan agar tak jadi sampah berserakan yang membuat ikon kota jadi hilang keindahannya. Apalagi setelah banyak bagian yang dipugar oleh Wali Kota baru.

Daniel terkekeh. "Masih siang. Mana ada yang jual! Kamu itu kayak Ema. Siang-siang ngajakin keliling nyari martabak, mana ada." Daniel melengkungkan punggungnya ke belakang sambil ditopang oleh kedua tangannya.

Tiffany tersenyum. Meski ada rasa kesal akibat masalah Ema dengan Daniel, ia rindu dengan Ema. "Aku pertama bertemu Kak Ema di rumah. Bawa kue lapis dari orang tuanya. Bunda sering nyuci di rumah Kak Ema. Dia sering bilang aku cantik."

Gadis itu tersenyum memandang matahari meski dengan mata menyipit. "Dia sering cubit pipi aku. Setiap ketemu pasti lebih suka manggil si cantik. Bilang aku kepedean, tapi ucapan Kak Ema itu selalu tulus. Dia keibuan," komentarnya. Fany terkekeh. Senyumnya melengkung seperti bulan sabit.

Cahaya mentari menyinari wajah gadis itu. Daniel berpaling menatap wajah Tiffany yang masih terhias senyum. "Ema benar, senyum kamu manis. Nular," celetuknya.

Fany melirik ke sisi, ia tatap Daniel heran lalu tertawa. "Eih, sumpah! Ini pertama kali kamu muji aku. Jangan bilang besok ada cewek lagi yang ngatain aku pelakor." Tiffany melipat tangan di dada. Meski kalimatnya menyindir, ia masih tersenyum geli.

Daniel tertular senyum itu. Ia ikut tersenyum juga. Masih ingat dalam bayangan, bagaimana senyum gadis itu mekar diantara daun-daun berguguran saat musim gugur di Paris. Senyuman manis yang membuat Daniel mematung dan menikmati keindahannya. Kini senyum itu begitu segar merasuk jiwa di musim kemarau.

Katakan pada dunia. Jika wanita digambar seperti musim, Tiffany itu seperti lawannya. Ia bunga mekar di musim gugur, kehangatan di musim dingin, kesegaran salju di musim panas dan cahaya mentari terik di musim semi.

-Dylano Khani-

"Jangan menangis lagi. Senyummu menular. Tangismu juga," ucap Daniel.

Tiffany mengangguk. "Aku belakangan ini gak pernah nangis lagi. Justru aku senang banget! Bisnisku sukses, aku punya rumah meski nyicil, kakakku sudah menikah. Satu saja sih yang bikin sedih. Nyinyiran tetangga. Gak di kontrakan gang sempit, gak di komplek perumahan, ada saja," komentarnya.

"Apa kata mereka?" tanya Daniel sambil terkekeh.

"Katanya buat apa kuliah hukum jauh-jauh ke Prancis kalau akhirnya jualan roti. Apalagi saudaraku. Buat apa jauh-jauh ke luar negeri kalau calon suami saja gak punya," jawab Tiffany. Ia manyun. Matanya melebar.

"Tampar dengan pendapatanmu," saran Daniel. "Mereka yang gak kuliah hukum mana tahu kalau ada ilmu dalam hukum yang membahas tentang aturan perdagangan. Saudara kamu juga aneh, memang di Prancis ada toko obral jodoh?"

Ponsel Daniel berdering. Handphone kini sudah lebih canggih. Media sosial mulai merajalela karena mudah diakses bahkan dari ponsel. Generasi lahir tahun 90an merasakan bagaimana teknologi berubah begitu cepat.

"Fan, kamu gak buka ponsel kamu?" tanya Daniel setelah mengangkat telpon dengan menggunakan bahasa Prancis. Ia pikir itu teman kuliah Daniel. Fany menggeleng. Ia lekas membuka tas dan melihat panggilan dari nomor baru Laurace.

"Ya Allah, aku gak tahu. Di silent HPku," ucap Tiffany menyesal.

"Madame Berenice meninggal, Fan," ungkap Daniel. Ponsel Fany jatuh terjun ke trotoar abu-abu dari batu granit. Hanya retak sisinya sedikit. Daniel mengambil dan mengusapnya pelan sementara Tiffany masih mematung.

"Aku harus ke Paris. Aku harus melayatnya. Dia yang mengajari aku banyak hal. Gak bisa Le pain lahir kalau bukan dari ajarannya," ucap Tiffany histeris. Air mata sudah muncul dari sisi matanya.

Daniel memegang pergelangan tangan Tiffany. "Hei, tarik napas dulu. Tenangkan diri kamu. Kita gak bisa sembarangan pergi ke negara orang. Sekarang kita pikirin dulu bikin visa kunjungan. Lagi pula bukan di Paris. Madame Berenice sudah tiga bulan di New York. Ini Laurace telpon dari sana. Kamu lupa?"

Oksigen Tiffany ambil dari udara meski tercampur dengan polusi kendaraan yang lewat. Ia tahan napas sejenak lalu menenangkan diri. Fany lupa jika beberapa bulan lalu Madame pindah ke New York bersama saudaranya. Ia semakin tua dan tak ada yang menjaga. Hanya ....

"Aku gak bisa ke sana. Aku takut, tapi ingin bertemu Madame," keluh Tiffany sambil menunduk. Ia ingin memaki hatinya. Ia pikir sudah sangat kuat menghadapi hidup. Nyatanya, ketika itu dihadapkan pada nama ....

"Dylano?" terka Daniel. Fany tak mengangguk. Gadis itu masih menangis sambil menunduk sementara tangannya ada dalam genggaman Daniel.

"Ayo pergi, ke sana demi Madame. Aku akan pergi sama kamu. Aku bakalan jaga kamu. Kalau ada dia, biar aku peluk erat kamu. Tak perlu lihat luka dengan melihat wajahnya. Ada wajahku yang bikin kesal, tapi ngangenin," saran Daniel. Tiffany mendongak. Ia tatap pria di depannya. Senyum Daniel begitu hangat memeluk batin Tiffany yang kedinginan.

"Kita ke New York dan pastikan semua baik-baik saja. Pastikan dia sudah hilang dalam hidup kamu dan tak kembali lagi. Meski kamu datang ke kota di mana dia lenyap, kamu tetap tak bertemu dia lagi. Hadapi ketakutan kamu padanya. Seperti kamu membuang rasa takut menghadapi kesendirian tanpa dia."

🍁🍁🍁

Sepatu Tanpa Pasangan (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang