51

606 72 8
                                    

Aku langsung tersedak oleh ludah sendiri. Ali melompat kaget. Ignis menggoyang-goyangkan surai keemasannya –– yang membuat mataku berbinar melihatnya. Dia bergerak gelisah, terbukti dari kaki belakangnya yang menghentak-hentak lantai. Kemudian dia menghela napas lalu menutup matanya sejenak. Menenangkan pikiran.

"Bagaimana mungkin? Kau adalah penjaga asli? Lalu ular jadi-jadian tadi apa? Apa yang mereka lakukan padamu? Apa tujuan mereka?" Ali beruntun memberi pertanyaan.

"Oh, kejadiannya panjang. Konflik antar-makhluk –– perebutan kekuasaan, kekuatan, dan sebagainya. Aku dipilih oleh Dewa untuk menjadi penjaga Panah Pavleur. Banyak makhluk atau hewan lain –– yang menurut kalian adalah mitologi belaka –– yang menginginkan posisi itu. Maksudku, menjadi seorang penjaga senjata magis adalah posisi yang sangat tinggi dan terhormat. Siapa pula yang tak menginginkannya?"

"Ya. Posisi setinggi itu mungkin setara dengan raja," komentarku. Ignis mengangguk. "Tepat. Maka dari itu, banyak makhluk atau hewan lain yang menginginkannya. Padahal mereka tak tau resiko dari posisi itu sendiri."

Aku meringis mengingat Lapis. Memang benar, posisi Lapis sebagai penjaga Tongkat Axlizus sangatlah tinggi. Tapi sebagai gantinya dia dikurung dalam Gua Kegelapan selamanya. Itulah resikonya. Kalau sampai sang penjaga kelepasan emosi, tak bisa menjaga Tiga Senjata atau yang lainnya, hukuman mereka sangatlah berat. Bahkan sampai tak bisa dibayangkan alias kejam.

"Lix adalah ratu siluman ular. Dia sangat haus akan kekayaan. Dan dia tau bahwa Istana Langit bisa memuaskan nafsunya. Istana ini tak setinggi istana-istana lain; hanya tiga puluh lantai. Tapi luasnya melebihi istana-istana Klan Matahari lainnya. Disini banyak emas, permata, berlian, safir, dan yang lainnya. Itulah yang menariknya kesini. Tapi dia tau, aku tak mudah dikalahkan. Aku berada satu level di atasnya."

Ali mengelus sayap kanan Ignis. Ignis membiarkan saja, tak memedulikan. Aku mengelus leher bawah Ignis. Sangat lembut. Perawatan apa yang dilakukan Ignis sampai membuat bulunya selembut ini? Si Putih saja kalah lembutnya.

"Lix adalah ular, dan ular itu licik, berakal bulus. Kutebak dia menggunakan kelicikan nya untuk menjebakmu atau apalah," sahut Ali. Dia keenakan mengelus sayap Ignis. Sekali lagi, Ignis membiarkan.

Kupikir dia seperti kuda kebanyakan; yang suka dielus-elus. Mungkin itulah mengapa dia tak memprotes sama sekali. Atau mungkin dia-nya yang sangat sabar sampai tak tega menendang bokong Ali dengan kaki belakangnya.

"Kurang lebih begitu. Mulanya dia datang kesini, menantangku duel. Saat di tengah-tengah duel, dia menjeratku dengan ekor ularnya. Dia meminta bantuan roh-roh jahat dan menggunakan sihir kuno untuk mengurungku dalam bola kaca."

"Woah, sihir itu ada?" sahut Ali. Dia tak lagi mengelus-elus bulu Ignis.

"Ada. Tetapi hanya manusia atau makhluk pilihan yang bisa menggunakannya. Kalau untuk ukuran kalian, tampaknya tak bisa. Toh, kalian sudah menjadi petarung. Kalian ingin menambah kekuatan dengan menjadi penyihir hm?" Ignis bertanya menggoda.

Ia paham sekali dengan wajah antusias Ali. Aku juga. Ali pastilah membayangkan dirinya menjadi penyihir keren yang seenak jidat melakukan apapun yang dia mau.

Tapi kemudian Ali menggeleng cepat. "Tidak, terima kasih. Menjadi petarung sudah cukup bagiku, tidak usah menjadi penyihir. Tapi Raib entah kenapa jadi mirip penyihir betulan karena Tongkat Axlizus-nya." Ia menunjukku dengan dagunya.

Aku mengernyit. "Sebegitu miripnya, ya?"

Ali mengangguk. "Tidak ingin alih profesi jadi penyihir, Ra?"

Seketika wajahku berubah datar. Aku mengangkat tangan, bersiap memukul wajah Ali. Ignis menahanku lebih dulu. "Cukup Raib, jangan kamu pedulikan perkataan temanmu itu. Anggap saja dia iri karena belum mendapat bagian Tiga Senjata sementara kamu dan Seli sudah." Ignis tertawa jahil

A Story of Raib Seli AliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang