53

587 70 11
                                    

Kami mendarat di Saldanha Bay, sebuah pelabuhan alami di pantai barat daya Afrika Selatan. Tempat ini teramat sepi, hanya satu-dua orang yang lewat. Mereka pun tak menyadari kedatangan kami.

Kami meniti pantai berbatu karang tersebut, menikmati hembusan angin menenangkan hati. Suara debur ombak mengombinasi indra pendengaranku. Samudra Atlantik bagian selatan membentang luas, dengan air biru jernih memanjakan mata.

Hari masih pagi. Matahari kemerahan di ujung sana mulai naik, ditemani kawanan burung.

Aku merentangkan tangan sambil menghirup napas sekuat mungkin lalu membuangnya perlahan. Seulas senyum tercetak di bibirku. Angin yang berhembus memainkan rambutku, membuatnya berantakan.

Tiba-tiba kurasakan percikan air di pipiku. Begitu membuka mata, aku mendapati Seli yang melakukannya. Kakinya tercelup ke dalam air –– tapi tak membuat basah. Tangannya memainkan air, memercikkannya kemana-mana.

Aku tertawa. Aku melompat, menceburkan kakiku ke air lalu bermain bersama Seli. Kami tertawa-tawa senang sambil melindungi wajah dari percikan air.

"Oh ayolah, kalian sudah besar masa masih saja main air. Masa kecil kurang bahagia –– WAAHHH!"

Ali mencak-mencak karena air mengguyur badannya. Wajah dan rambutnya ikutan kena. Dia berdiri dari posisi duduk diatas batu karang lalu memelototi kami.

Kami menjulurkan lidah. "Bersenang-senang dahulu bersakit-sakit kemudian. Karena kebetulan kita disini, kenapa tidak memanfaatkan waktu untuk bersenang-senang? Ingat lho, kita berjuang mati-matian mendapatkan Tiga Senjata selama kurang lebih dua hari ini. Bersantai dulu tak apa." Aku mengangkat bahu acuh tak acuh.

Lagipula omonganku benar 'kan? Tak ada salahnya bersenang-senang disini. Menikmati pemandangan Saldanha sebelum mengarungi Samudra Atlantik untuk menemukan kapal karam; tempat dimana Pedang Fervoez berada.

Kami belum tau persis dimana kapal tersebut, tapi Pavleur memberitahu Seli bahwa kapal berada di Samudra Atlantik bagian selatan. Kami bisa melacaknya dengan alat Ali –– dengan asumsi tak ada sihir ilusi atau apalah yang melindunginya.

"Baiklah, kau ada benarnya. Tapi kita tak bisa disini lebih lama. Pedang Fervoez menunggu, dan perang dunia paralel menanti kita." Ali merapikan rambutnya yang basah dengan jari-jari yang berfungsi sebagai sisir.

Kami seketika menoleh. Aku menggigit bibir. Perang? Akankah semua itu terjadi? Atau memang sudah terjadi? Kalau pun perang akan terjadi sebentar lagi, maka kami bertiga harus bergegas kembali kesana untuk membantu mereka. Tapi ... kalau perang sudah terjadi maka pertanyaannya 'Apakah kami sempat menyelamatkan mereka?'

Tidak.

Aku tak boleh berpikir yang tidak-tidak. Sekarang sebaiknya fokusku hanya tertuju pada Pedang Fervoez. Jangan yang lain.

Aku menatap Ali yang kini tengah mengotak-atik alat berbentuk tabungnya. Wajah seriusnya yang diterpa angin sepoi-sepoi membuatnya jadi makin tampan. Ali tak tau aku memperhatikannya karena terlalu fokus pada alatnya. Tabung keperakan tersebut kadang bercahaya, kadang mengeluarkan bunyi seperti krak, tik, dan ting.

Mau tak mau kuakui dia tampan. Tapi yah, bodo amat lah. Mau dia tampan, amburadul, ceking, jelek, atau yang lainnya juga bukan urusanku. Dia urus saja sendiri tubuhnya.

Seli duduk di samping Ali –– diatas batu karang. Aku menyusulnya dan duduk di sisi yang satunya. Ali melirik sebentar lalu kembali ke aktivitas semula.

"Apa yang kau kerjakan? Mencari kapal karam itu?" tanya Seli.

"Tidak. Tentang kapal karam, nanti saja. Ada yang lebih penting."

A Story of Raib Seli AliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang