14

966 78 28
                                    

Seorang lelaki duduk di atas singgasananya. Dia membuka buku setebal 600 halaman lantas membacanya. Ah, jangan heran kalau dia membaca buku setebal itu. Buku adalah teman hidupnya. Tidak, dia bukan teman yang pertama. Setidaknya, buku berada di urutan kesekian.

Buku kuno itu masih setia bertengger di pahanya, dengan dirinya yang tak bosan menatap kata demi kata yang tertulis disana.

Sesekali dia menyesap cokelat panasnya, merilekskan pikiran. Mata birunya tak pernah lepas dari buku itu, sesekali bibirnya berkomat-kamit seakan-akan membaca mantra.

Sebenarnya lelaki itu bisa menghabiskan waktu di perpustakaan kerajaan untuk membaca buku tebal itu. Disana 'kan ada meja, jadi dia tak perlu memangku buku yang mampu membuat berlubang atap rumah itu.

Tapi dia lebih memilih untuk membaca di singgasananya. Ah, menghabiskan waktu di singgasana raja memang menyenangkan. Dia adalah raja, orang yang memerintah dunia ini. Benar, tak hanya sekedar kata 'negeri', tetapi juga dunia. Dunia ini adalah kekuasannya, dan dia akan memerintahnya.

Memikirkan hal itu, membuatnya menyeringai puas. Dia menyenderkan punggung di kursi singgasana, sambil memainkan jari-jarinya. Ada cincin berlapis perak dengan permata biru menghiasi jari tangan kirinya. Bukan, itu bukan cincin pernikahan. Itu cincin peninggalan keluarganya. Memperhatikan cincin itu, mata birunya seakan terhipnotis oleh permata biru itu.

Ada banyak kenangan yang dia lewati dengan cincin itu. Mulai dari kenangan sedih, senang, marah, dan kecewa. Cincin itu lah yang menjadi saksi, saksi bisu atas semua yang dirasakannya.

Sebuah memori melintas di pikirannya. Memori yang menyakitinya. Ingin rasanya dia membuang memori itu jauh-jauh, dia tak sanggup menahan sakitnya. Dia tak sanggup melihat penderitaan disana.

Menggelengkan kepala, lelaki itu mengusir jauh-jauh memori itu. Terlalu menyakitkan. Terlalu menyedihkan. Tapi dia tak bisa mengulang semuanya, dia hanya sekedar manusia. Ah, dia bukan manusia biasa. Tapi dia memiliki kekuatan hebat, itulah yang membuatnya bisa menguasai kerajaan ini. Tapi walau bagaimanapun, dia tak bisa mengulang waktu.

Mata biru lelaki itu kembali teralih ke buku kuno yang masih setia di pangkuannya. Setelah menyingkirkan semua pemikiran itu, dia kembali membaca buku kuno tersebut.

Dahinya mengernyit bingung. Dalam sekali gerakan, buku itu tertutup. Menampilkan sampul kulit tuanya yang terlihat tidak pernah dirawat. Atau memang bukunya sudah tua?

Kekuatan Hitam & Teknik Pelumpuhan

Itulah judulnya. Simple, tapi sangat membantu. Berkat buku inilah, dia memahami kekuatan-kekuatan hebat. Teknik Bayangan Malam contohnya. Dia hanya memahami, tapi lantas dia mencari bantuan orang lain untuk menguasai teknik itu.

"Jadi, orang yang terkena teknik akan menuruti perintahku? Ah, ini seperti hipnotis. Tapi dalam bentuk yang lebih menarik. Aku bisa mengendalikan pikirannya, membuat dia melakukan apapun yang aku suruh," guman lelaki itu dengan suara berwibawa khas rajanya.

"Umm... sangat membantu. Tapi bagaimana aku mempelajari teknik ini? Sepertinya aku bisa belajar sendiri. Tapi kalaupun perlu, aku bisa mencari guru," simpulnya.

Lelaki itu mengangguk-angguk setuju. Meringis, dia meletakkan buku di atas meja kecil di sampingnya. Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan. Ruangan ini sangat besar, dengan cat putih bersih. Ada enam pilar disini, berdiri gagah menopang atap. Karpet merah tergelar dari pintu sampai ke singgasananya. Pintu dengan tinggi tiga puluh meter itu tertutup rapat, lengkap dengan dua penjaga di bagian luarnya –– kalau dia tak salah. Dua lampu besar berlapis berlian menggantung di atap ruangan, cahayanya menerangi isi ruangan.

A Story of Raib Seli AliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang