45

633 71 5
                                    

Lembut.

Itulah sensasi yang kurasakan saat mendarat di awan. Ya, awan. Kalian tak salah baca. Berkat kekuatan angin Tongkat Axlizus, kami diterbangkan sampai mendarat di awan. Awan-awan disini padat, tak seperti lazimnya. Ini dikarenakan di sekitar lokasi Panah Pavleur yang memang kumpulan awan-awan tebal, akhirnya dipadatkan dengan kekuatan magis.

Tak ada yang menyadari, pun tak ada yang mencari. Orang-orang tak tau jika ada awan-awan padat tepat diatas air terjun. Di zaman ini, tak ada kapsul terbang. Paling mentok adanya sepeda seperti di Klan Bumi yang juga tak bisa terbang.

Kakiku terasa seperti menapak pada lautan kapas. Karena kelembutannya, kakiku melesak beberapa senti ke dalam awan. Aku sangat tergoda untuk bermain sebentar disini, atau sekedar bergelung manja layaknya kucing. Buru-buru kusadarkan diri ini bukan waktunya bermain-main.

Di sekitar kami, samudra awan-awan bergerumun. Suhu terasa lebih dingin, dengan angin sepoi-sepoi yang sesekali membelai. Burung-burung seukuran kucing dewasa lewat, berkicauan bingung melihat tiga manusia di dekat mereka.

Disini sangat damai, cocok sekali dengan orang yang menyukai kedamaian dan keheningan.

Tapi, ada satu masalah ....

... dimana tempat itu? Sekeliling kami isinya hanya awan. Tak ada gua atau bangunan apapun. Padahal daritadi kubayangkan gua melayang. Eh, tapi ini tak ada apapun.

Kecuali ––

"Dimana tempat yang dimaksud Axlizus? Tak ada apapun disini," kata Seli sembari merapikan rambutnya yang berantakan akibat tertiup angin.

'Ah, tentang itu, tempatnya dilindungi oleh sihir ilusi. Kalian tak bisa melihatnya begitu saja. Gunakan tongkat ini untuk memecah sihir ilusinya.'

Aku mengangguk paham tanpa banyak bertanya –– walaupun sangat penasaran dengan sihir ilusi. Aku menggoyangkan tongkat, tanpa sengaja membuat simbol matahari.

Kilauan cahaya muncul dari ujung tongkat, menyebar ke sekitar hingga membuat pola lingkaran. Cahaya itu terus berputar-putar ke atas. Pendar sebuah bangunan terlihat. Awalnya tak terlihat dengan jelas, hingga lima menit kemudian membentuk bangunan setinggi lima ratus meter. Bangunan tersebut terdiri dari empat sayap –– utara, timur, barat, dan selatan. Atapnya runcing dan terbuat dari tembaga. Puluhan pintu dan ribuan jendela dari yang bening hingga yang bercorak mengelilingi bangunan. Dindingnya bercat putih dan emas.

Di sayap timur, terdapat menara setinggi dua ratus meter dengan puluhan jendela bening. Rumah kaca berada di sayap barat, mungkin berisi sayur atau tanaman hijau lainnya. Halaman depannya kemungkinan sepanjang seratus meter. Aku tak tau, karena tak terlihat darisini. Tembok setinggi lima puluh meter mengelilingi bangunan, membuat bentuk lingkaran. Di atas tembok, beberapa patung mungil berdiri. Gerbang di tengahnya berdiri megah, dicat sewarna perunggu. Dua pilar di depannya, berwarna emas dengan patung kuda.

Kami melongo. Mataku perih karena sejak tadi tak ditutup. Mulutku nyaris menyentuh dada. Seli melotot pada bangunan sembari mengucek matanya, memastikan apa yang dilihatnya benar. Napas Ali putus-putus, seolah tak percaya apa yang dilihatnya. Beruntung dia tak mimisan.

Lihatlah! Di depan kami, berdiri istana termegah yang pernah kulihat.

'SELAMAT DATANG DI ISTANA LANGIT!'

Kami berlarian mendekati istana tersebut. Aku tertawa merasakan sensasi menggelitik nan lembut di kakiku diakibatkan awan. Begitu sampai disana, kami melongo kagum.

"Yang bener nih tempatnya? Mewah banget, ya ampun," gimana Seli. Dia mengitari pilar emas di depan gerbang. Berkali-kali dia berdecak karena terpesona.

A Story of Raib Seli AliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang