60

676 77 21
                                    

"Wow."

Aku mengusap darah di pipi dan dahiku, baunya amis. Darah nyaris saja mengenai mataku kalau-kalau aku tak segera menutup mata.

Aku mendongak. Sebilah pedang tertancap di leher Harex, ujungnya menembus leher sang Hippocampus. Darah menetes darisana, membuat air menjadi kemerahan. Mata hitam Harex membulat, mulutnya membuka lebar. Dia tak berteriak, seolah pita suara telah direnggut darinya.

Di atas Harex, berdirilah cowok berambut berantakan dengan tangan memegang gagang pedang. Matanya berkilat kesal, deru napasnya terengah-engah. Tangannya gemetar memegang pedang, mungkin karena belum terbiasa dengan bobotnya.

Ali menarik pedang dari leher Harex tanpa rasa belas kasihan. Gerakannya secepat kilat, hanya sekedip mataku. Begitu pedang ditarik keluar, tubuh Harex terjatuh. Darah mengotori pasir lautan di bawahnya. Napasnya memendek, aku nyaris tak bisa mendengarnya.

"Kalian akan membayarnya."

Aku berkedip beberapa kali. Darah yang menguncur deras dari leher Harex membuatku mual. Kuusap wajahku untuk menyingkirkan noda darah, dan sebisa mungkin untuk tak mencium aromanya.

Lima detik kemudian, napas Harex berhenti. Matanya masih terbuka, melotot padaku. Tubuhnya sekaku baja. Sudah tak ada Harex yang bertubuh gagah bin sombong, sekarang yang ada hanyalah bangkainya. Harex tidak memudar seperti Lixzaser, jadi dia mati wajar dengan meninggalkan bangkai sementara arwahnya sudah meninggalkan tubuhnya.

"Masih beruntung aku tak menebas kepalaku, wahai Hippocampus menjengkelkan. Atau menusuk jantungmu." Ali mendengkus sambil menenteng Pedang Fervoez di bahunya. Darah yang tertempel di pedang itu tak dihiraukannya. Bajunya bisa membersihkan diri sendiri, jadi Ali tak risau.

"Aku baru tau kau punya jiwa psikopat, Ali." Aku berdiri di depan bangkai Harex, menyentuh ekornya yang jadi sedingin es.

"Tidak juga."

Seli ikut bergabung. Panah Pavleur tersimpan rapi di tasnya. Dia menoel-noel moncong Harex dan menutup mata Harex yang terbuka.

"Jadi, Pedang Fervoez adalah kelemahannya?" sahut Seli.

"Kupikir tidak. Maksudku siapa juga yang masih hidup setelah ditusuk lehernya sampai tembus? Makhluk jenis apapun takkan sanggup menahannya. Terlebih Pedang Fervoez adalah senjata magis. Kekuatan di dalam pedang ini membuat Harex sekarat dalam sekejap, seolah ada racun yang mengalir di tubuhnya. Secara otomatis Harex tak sanggup bertahan, sekuat apapun dirinya," jelas Ali panjang kali lebar.

"Tapi Lix bisa bertahan tuh saat Panah Pavleur menancap di jantungnya?" sela Seli.

Mulut Ali terkangtup rapat. Dahinya mengernyit, pandangannya menjadi serius. Kupikir dia tak punya ide tentang ucapan Seli. Dan aku setuju dengan gadis itu; kalau Pedang Fervoez bukanlah kelemahannya, bagaimana dia mati sementara Lixzaser bisa bertahan saat Panah Pavleur tertancap di jantungnya?

"Yeah, aku tak memikirkan Lixzaser. Jadi sepertinya asumsimu benar." Dia nyengir lebar.

Tiba-tiba pasir di bawahku bergetar. Semuanya bergetar. Aku menatap Seli dan Ali bergantian, tapi mereka sama terkejutnya denganku. Tak lama kemudian getaran ini disusul dengan bunyi krak seperti sesuatu bergeser dari tempatnya. Kutatap Kapal Posiedemus yang mulai hancur akibat getaran, kayu-kayunya berjatuhan.

"Apa yang terjadi?" kataku.

Ali menggertak. Dia mencengkeram Pedang Fervoez teramat kuat sampai buku-buku jarinya memutih. Aku masih harus menahan diri untuk tak muntah karena melihat darah di menutupi tiga pernah empat bagian bilahnya.

A Story of Raib Seli AliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang