30

805 69 15
                                    

Netra gelapku menyapu desa. Desa itu lumayan luas, tapi sebagian besar hanya diisi padang perdu. Rumah-rumah penduduk ada sekitar enam puluh buah. Berbentuk bulat dengan atap runcing. Dindingnya terbuat dari batu-bata – aku bersyukur karena kupikir dindingnya akan terbuat dari batu atau jerami – dengan atap berupa genteng. Rumah bulat itu taklah besar, tapi mungkin ada yang berlantai dua. Tiang-tiang penyangga terlihat keropos dimakan rayap, penghuni rumahnya belum berencana menggantinya.

Beberapa genteng jatuh dan hancur ketika menimpa tanah, menimbulkan lubang di atap. Penghuninya juga tak terlalu peduli dengannya.

Beberapa keledai seukuran harimau dewasa lewat. Terlihat juga sapi seukuran gorila, kambing dengan ukuran hampir sama seperti keledai, dan kuda yang seukuran beruang kutub. Ayam-ayam berkokok – berukuran anjing dewasa.

Penduduk desa berlalu-lalang. Satu-dua berbincang-bincang. Ada juga yang berteriak menawarkan dagangannya. Dagangan yang digelar di depan rumah sendiri. Kebanyakan kaki-laki memakai kaus gelap berlengan, ada juga yang tak berlengan. Wanita memakai blus cerah berwarna-wani dengan renda. Mereka memakai rok panjang bercorak. Tak lupa memakai penutup kepala berupa kain yang dilipat sedemikian rupa. Beberapa anak laki-laki nampak bertelanjang dada, menjadikan kulit mereka tambah gelap. Melupakan fakta bahwa matahari tengah bersinar terang hari ini.

Anak-anak berlarian di jalanan desa, sekedar bermain dengan teman-temannya. Mereka bermain sepak bola, lompat tali, petak umpet. Sisanya aku tak tau karena aku tak mengenali permainan itu.

Entah kenapa aku bersyukur melihat penduduk yang berpakaian kaus dan  blus. Karena kupikir mereka akan berpakaian seperti zaman purba! Memakai daun yang bahkan tak menutupi setengah badan mereka.

Well setidaknya mataku masih suci sejauh ini.

Walaupun aku tak tau sekarang tahun berapa tapi yang pasti ini adalah masa lalu. Dan di masa lalu, teknologi belumlah canggih. Aku bahkan berani bertaruh disini belum ada lampu. Mereka hanya menggunakan obor atau lentera.

"Hm, jadi sekarang bagaimana?" tanyaku.

Ali mengerutkan keningnya. "Tentu saja kesana. Cari warung, rumah makan, atau apapun itu supaya kita bisa makan. Asalkan jangan makan numpang di rumah orang, mau dikemanain wajahku," celutuknya.

Aku memandangnya datar. Sayup-sayup aku mendengar mereka berbicara. Dan anehnya, aku mengerti apa yang mereka bicarakan. Padahal aku tak mengenakan alat penerjemah.

Pemikiranku terbuyar karena Ali menyuruhku dan Seli bertukar pakaian. Kami bertiga pun mengubah pakaian serba hitam kami menjadi pakaian yang dikenakan masyarakat desa.

"Sebelum itu, nih." Ali menyodorkan alat penerjemah padaku dan Seli. Seli menyambar alat yang hampir serupa dengan headset tapi tanpa kabel itu lantas mengenakannya.

Aku menggeleng pelan. "Aku ... tidak perlu menggunakannya. Aku tau apa yang mereka bicarakan," ujarku.

Ali tampak sumringah. Dia berbinar-binar menatapku, membuatku sangat tak nyaman. Sejenak aku mundur pelan sambil berkedip-kedip bodoh.

"Berarti benar yang kuduga tadi."

"Ng?"

"Tempat ini adalah masa lalu Klan Bulan. Itu makanya kau bisa mengetahui bahasa yang mereka pakai. Kalau begitu, syukurlah. Sekarang kita tinggal mencari Tongkat Axlizus," jelasnya girang.

Aku ber'oh' ria. Kami pun memasuki desa dengan berjalan santai. Ilalang banyak tumbuh di bawahku, membuat kakiku tergelitik.

Aku menikmati pemandangan desa sambil menghirup napas dalam-dalam. Disini banyak sekali pohon, membuat udara makin sejuk. Angin sepoi-sepoi bertiup sesekali.

A Story of Raib Seli AliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang