12

1K 99 10
                                    

Aku segera berbalik, mataku melotot kaget saat mengetahui tidak ada si Tanpa Mahkota di manapun. Mengerjapkan mata, aku beranggapan kalau dia menghilang atau sudah pergi sejak tadi.

Kurang ajar!

Batinku berteriak kesal, dia memang membuatku kesal saja sejak tadi. Sekarang, dia main pergi begitu saja. Awas saja kau nanti, akan kupukul kau dengan pukulan berdentum. Eh, jangan. Aku melakukan hal itu sama saja dengan menggali kuburan sendiri. Kan?

"Ra? Kau kenapa?" Seli menggoyangkan bahuku, cemas melihatku yang berwajah memerah sebal.

"Tidak apa-apa,"balasku. Seli menelengkan kepalanya, merasa belum puas dengan jawabanku. Setelah mengedarkan pandangannya ke sekeliling sungai, dia kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama.

"Si Tanpa Mahkota mana? Tadi kau bilang kesini dengannya?"

"Iya, aku memang kesini bersamanya. Lalu dia pergi begitu saja. Dasar pangeran tak tau adab! Kurang ajar! Nggak jelas!"aku berteriak marah yang membuat Seli mundur beberapa langkah.

"Kau ini habis kesurupan ya?". Aku melotot padanya, "Tentu saja tidak, siang-siang bolong begini aku takkan kesurupan Nona Seli,"balasku. Walaupun sebenarnya 'siang bolong' tidak ada hubungannya dengan 'kesurupan'.

Tapi ya sudahlah, aku terlalu marah sampai tidak memperhatikan ucapanku. Dan tentu saja, aku tidak kesurupan!

"Ra, sejak kapan kau akrab dengan si Tanpa Mahkota? Bukannya kemarin-kemarin kau selalu menatapnya setengah takut setengah was-was? Ah, jangan-jangan kau nyaman berada di dekat si Tanpa Mahkota ya?"Seli terkikik jahil.

Tanpa banyak bicara, aku mencubit pinggangnya. Seli berteriak kesakitan, tangannya berusaha melepaskan cubitan tanganku dari pinggangnya. Aku melepas cubitan ku setelah beberapa menit, Seli langsung jongkok sambil memegangi pinggangnya. Aku menyeringai lebar, puas dengan respon Seli.

"Heh, kau dapat informasi darimana? Aku sama sekali tidak akrab dengan si Tanpa Mahkota. Kau tau sendiri kan tadi aku marah dengannya. Dan lagi, aku sama sekali tidak nyaman di dekatnya. Auranya menyeramkan,"kataku setengah berbohong.

Baik, aku sebenarnya lumayan nyaman di dekat si Tanpa Mahkota. Tapi tidak sepenuhnya nyaman, karena aku juga masih waspada. Siapa tahu nanti dia melepas pukulan berdentum padaku. Lagipula, dia sangat menyebalkan. Kadang sifatnya seperti kulkas berjalan, tapi kadang juga bisa menyebalkan seperti Ali.

Oke, aku melebihkan hal itu. Dia baru satu kali membuatku kesal, lalu apakah aku harus menyebutkan dia semenyebalkan Ali? Kupikir tidak.

"Yeah, terserah kau saja. Sekarang lebih baik kita balik, pasti makanan sudah siap,"kata Seli senang.

"Makan melulu yang kau pikirkan Seli. Nanti gendut baru tau,"sahutku. Seli cemberut, membuatku terkikik puas. "Enak saja, aku tidak gendut dan tidak akan pernah gendut."

"Tapi aku heran dengan hobi makanmu Seli.". Seli berkacak pinggang, terlihat tak suka, "Ra, sudahlah. Aku laper banget ini, lagipula sudah waktunya kita makan. Ayok!"Seli menarik tanganku.

Aku pun menurutinya. Kami berteleportasi hingga sampai di tempat biasanya kami makan, di bawah pohon rindang. Ali bersama si kembar sudah ada disana.

Ah, ngomong-ngomong soal Ali aku lupa memberitahu kalian. Ali tidak ikut bersama kami karena ada urusan dengan si kembar. Saat kutanya ada urusan apa, Ali hanya menjawab 'urusan laki-laki'. Dan sejak itupun aku tidak bertanya lagi. Lagipula tidak mungkin aku dan Seli ikutan nimbung karena itu urusan lelaki. Jelas kami perempuan.

"Hai semua!"sapa Seli riang seperti biasanya. Ngglanggeram balas ber'hai'.

"Bagaimana jalan-jalannya? Seru?"tanya Ali. Seli mengangguk riang, "Seru sekali, tapi sayangnya Ra malah marah-marah sama aku,"adu Seli. Aku memelototinya.

A Story of Raib Seli AliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang