19

839 73 6
                                    

Keesokan harinya...

Aku berjalan menyusuri koridor sekolah. Wajahku kuatur sebisa mungkin, kejadian kemarin sudah mulai kulupakan. Tidak semuanya, dan jelas tak mudah melakukannya.

Aku masih tak paham dengan diriku sendiri. Bagaimana mungkin aku punya pemikiran seperti itu, bagaimana mungkin aku punya keinginan gila semacam itu? Anggap aku egois, tidak apa-apa. Tapi percayalah, aku masih tak paham dengan diriku sendiri.

Tanpa kusadari, ternyata aku melamun di sepanjang koridor. Langkahku tak teratur, pelan dan lemah. Untung saja koridor tengah sepi, jadi tidak ada orang yang keheranan melihatku melamun.

Sayup-sayup aku mendengar keramaian di lapangan. Tentu saja, hari ini adalah hari pertandingan basket diadakan. Para anggota OSIS tengah sibuk menyiapkan berbagai keperluan, dibantu dengan anak lainnya.

Walaupun jam masih menunjukkan pukul 06.10, tapi keramaian di lapangan sudah membeludak. Sekali lagi, aku bersyukur karena koridor tengah sepi.

Aku memijit pangkal hidung, lalu menyenderkan tubuh di dinding koridor. Menengadah ke langit, aku menggigil karena udara dingin menusuk kulit.

Aku berjalan pelan ke arah taman, lantas berhenti di pinggirnya. Walau udara dingin, tapi aku tidak memedulikannya. Sudah terbiasa.

Menengadah ke langit, tak kutemukan matahari disana. Hanya mendung tebal, dengan kabut tipis sebagai pengiringnya. Kicauan burung tak terdengar, hanya deru angin lembut yang menjadi pelengkap suasana. Tetesan air di daun berjatuhan, menciptakan kecipak ringan di tanahnya.

Tes

Mengerjap, aku mengusap ujung hidung yang terkena tetesan air.

Tes

Aku menengok ke tanganku, menyentuh lengan yang juga terkena tetesan air. Hanya satu jawaban saat hal ini terjadi, tentu saja, ini rintik hujan. Aku mendongak, membuat tetesan air hujan mengenai wajahku.

Aku hanya diam. Tak bersuara. Mempersilahkan air hujan menyapa wajahku, membuatnya basah. Aku tak peduli, walau nanti mungkin orang-orang di sekitar menganggapku gila.

Ingat, aku penyuka hujan.

Sreekk

Tanganku tiba-tiba ditarik, membuatku sontak terkejut. Aku mendongak, menatap pelaku yang menarik tanganku. Sontak mataku membulat mengetahui pelaku itu, karena aku tak pernah menduga bertemu dengannya secepat ini.

"Apa kau sudah tidak waras? Buat apa hujan-hujanan begitu?" tanyanya menginterupsi.

"Ali," gumanku tanpa diketahui siapapun. Tanganku masih terkenal olehnya, dan aku tak berniat menariknya dari tangan Ali. Kami berteduh di koridor, mendengarkan rintikan hujan yang berirama.

Perlahan aku menatapnya, berusaha sekuat mungkin menghilangkan sorot mata itu. Ali memandangiku penuh pertanyaan, juga sedikit marah. Ali marah? Ya, kalian tidak salah lihat.

"Ra, jawab aku," pintanya. "Bukan apa-apa Ali. Kau tau, hanya menikmati hujan," balasku sambil tersenyum palsu. Semoga di tak menyadari senyumku ini.

"Tapi 'kan tidak harus menikmati hujan langsung di bawahnya. Bajumu bisa basah."

"Ya, aku tau. Maaf. "

"Oke. Kalau gitu, ayo kita ke kelas!" Ali mengkeret tanganku. Aku hanya membiarkan pemuda itu melakuan aksinya, tidak menolak sedikitpun.

"Tumben kau datang awal, Tuan Muda Ali."

Ali menoleh, menatapku yang menatapnya heran. Hari masih pagi, dan Ali sudah sampai di sekolah. Sungguh, pencapaian luar biasa. Padahal dia biasanya datang terlambat atau mepet.

A Story of Raib Seli AliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang