58

654 76 18
                                    

Kami memasuki kapal dengan mudah. Tak belut listrik atau Kraken yang tiba-tiba muncul di baliknya, membuatku menghela napas lega. Kapal itu praktis dibiarkan terbengkalai, bahkan lumut tumbuh liat di badannya. Bendera bajak laut di ujung sana dengan lemas berkibar, tinggal separuh. Lambung kapal yang berlubang dan rapuh menyebabkan kami mudah melewatinya.

"By the way, kapal ini namanya apa?" tanya Ali memecah keheningan. Remaja itu tengah mengaduk kotak-kotak dan mengeluarkan isinya. Kebanyakan kotak berisi misil-misil, pisau lipat, tombak, pedang, dan berbagai senjata tajam lainnya. Ali sempat menemukan sekantong bubuk mesiu tapi tak memegangnya.

Kemudian aku bertanya: kapan kapal ini tenggelam? Apakah di sekitar tahun 1515, atau jauh setelahnya? Siren boleh jadi membuat kapal-kapal tenggelam di tahun itu, tapi apa mungkin kapal ini adalah kapal pertama yang mereka tenggelamkan saat berpindah ke Samudra Atlantik?

Tapi dilihat dari kapal, bisa dibilang ini bukan kapal kuno. Yah, kemungkinan kapal ini tenggelam sekitar tahun 1700-an. Walaupun jaraknya jauh, tapi siapa tau.

Aku sendiri tengah menjelajah geledak kapal. Yang artinya, Ali dan Seli ada di bawahku –– mereka ada di lambung kapal. Disini tak ada barang-barang berarti, hanya tumpukan kotak dan drum kayu. Aku membuka pintu ruangan yang berada di bawah stir kendali. Tidak ada apa-apa disana. Yang ada aku disambut oleh bau apek yang mungkin akan membuat jiwa keibuan keluar.

Aku tau apa yang dilakukan kedua sahabatku di bawah sana. Mudah saja, lewat lubang. Kan sudah kubilang disini banyak sekali lubangnya?

"Eh, ini Kapal Posiedemus," jawab Seli sembari melongok ke drum setelah membuka penutupnya.

"Hei, kapal ini dinamakan dengan nama Poseidon? Ada-ada saja," komentar Ali. Seli mengangkat bahunya.

"Mungkin untuk menghormati sang Dewa Laut. Dan mungkin awak kapal ini dulunya adalah pemuja Poseidon. Siapa tau 'kan?" Seli mengitari meriam dengan setengah antusias setengah ngeri. Walaupun meriamnya padam, tapi dia tetap waspada. Siapa tau nanti meriamnya tiba-tiba meledakk dan bum! Dia mati di tempat.

Ali memutarkan bola matanya. "Baiklah, lain kali saat membuat kapsul lagi, akan kunamakan dia Zeus," candanya.

"Atau saat membuat kereta bawah tanah, menamakannya dengan Hedesemus. Begini-begini aku tau sedikit tentang mitologi Yunani," tambah Seli sambil tertawa kecil.

"Dan kalian berdua akan dilempar dari Gunung Olympus setelahnya," tambahku sembari memutarkan mata. Kepalaku melongok ke bawah, Seli mendongak ke atas supaya bisa melihatku, tapi Ali tetap sibuk dengan kotak-kotak kayu.

"Bisakah kalian fokus sedikit? Kita harus mencari pedang itu secepatnya!" tegurku.

"Ayolah Ra, santai sedikit. Makhluk itu juga belum menampakkan dirinya 'kan? Sejauh ini kita aman," bela Ali. Dia berganti memasuki ruangan di pojok lambung kapal, melongokkan kepala kesana, lalu keluar.

"Ya, dan kita tidak tau sampai kapan kondisinya tetap aman seperti ini. Dia bisa datang kapan saja," balasku. Mataku terus menyusuri geledak kapal, membongkar beberapa kotak, menyingkirkan drum-drum kayu, sampai berenang menuju tiang layar kapal. Aku tak menemukan apa-apa, ataupun tanda makhluk itu keluar.

Mataku ganti beralih ke sekitar kapal. Begitu tenang. Teramat tenang, sampai aku bisa mendengar gerakan air yang teratur diatas sana.
Aku beralih pada tumbuhan liar bergoyang-goyang mengikuti arus air. Cahaya menerobos ke perairan, tapi tak cukup terang untuk menerangi seluruh Kapal Posiedemus.

Aku tak tau kami saat ini berada di kedalaman berapa meter. Dua ribu meter? Mungkin. Tapi air disini sangat dingin, menusuk kulitku dan membuatku menggigil.

A Story of Raib Seli AliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang