64

716 81 21
                                    

Perlahan, aku membuka mata yang masih mengabur karena dipenuhi air mata. Dari balik bahu Ali, aku bisa melihat Axlizus dan Pavleur yang melayang dua meter dari permukaan. Di depan mereka, si Tanpa Mahkota merintih kesakitan. Panah Pavleur telah menancap di dadanya, membuat darah berceceran disana-sini.

Petir mengalir darisana, membuat si Tanpa Mahkota makin kesakitan. Tadi dia tertawa terbahak-bahak, sekarang yang kudengar adalah jeritan penuh penderitaan miliknya. Panah Pavleur menancap cukup dalam, tapi meleset dari tempat jantungnya.

Axlizus menyipitkan matanya. Kedua tangan yang ada di sisi tubuhnya kini menjadi berkacak pinggang. Dia kelihatan sebal sekali. "Haish, Vleur, kau kelewat seinci dari jantungnya," katanya tanpa dosa atau rasa kasihan sedikit pun.

Pavleur kelihatan sama sebalnya dengan rekan rohnya. "Aku tau, tapi tadi bergerak sedetik sebelum aku menancapkan panahnya. Maaf saja, tapi setidaknya sekarang aku jadi puas. Bisa-bisanya dia memanipulasi pemilik panahku, dia pantas mendapatkannya."

Si Tanpa Mahkota dengan geram mencabut Panah Pavleur dari dadanya. Tubuhnya gemetar hebat, wajahnya sepucat tulang, keringat dingin mengalir dari pelipis dan tangannya. Si Tanpa Mahkota kepayahan berdiri, tapi dia melotot marah pada kedua roh tersebut.

Pavleur dan Axlizus terkesiap. Tentu saja mereka tak mengira ada yang bertahan setelah sebuah senjata super kuat menancap di tubuh mereka, apalagi jaraknya hanya seinci dari jantung. Tapi si Tanpa Mahkota bukan musuh biasa, kekuatannya berkali-kali lipat lebih besar.

"Kalian pikir bisa membunuhku semudah itu?" Suaranya terdengar parau. Dia melambaikan tombaknya, membuat rantai-rantai magis yang berwarna putih kebiruan mengikat Pavleur dan Axlizus. Kedua roh itu meronta-ronta, tapi semakin mereka mencoba lepas, petir biru sontak mengalir ke tubuh mereka.

"Sial, bagaimana dia bisa bertahan walau sudah terkena Panah?!" pekik Pavleur diiringi jeritannya.

Mataku melotot kaget. Mereka hanya roh, tapi si Tanpa Mahkota sukses membuat mereka menjerit kesakitan dengan menggunakan rantai magis. Aku belum pernah melihat Axlizus sebegitu kesakitannya, sebegitu putus asanya.

"Raib, kenapa kau memelukku?"

Sontak saja mataku mau keluar. Dengan cepat aku melepas pelukan, tapi tak menjauh. Aku mendongak, menatap Ali yang menatapku bingung. Wajahnya memerah. Ketahuilah, jarak wajah kami hanya enam senti. Sebelum aku menyadari, aku sendiri juga sudah semerah tomat sampai ke telinga.

"Bisakah kau melepaskanku?" katanya. Aku tak melakukannya, dan justru menatapnya tambah lekat. Gejolak senang memenuhi diriku. Tapi aku tak bisa melompat kesenangan seperti anak kecil, karena aku masih sangat tertegun.

"Ugh, Ra... kenapa matamu merah? Kau habis nangis?" tanya Ali. Dia baru saja hendak menyentuh pipiku, dan aku langsung menepisnya.

"Ini kau 'kan? Ali, benar kan?!" Aku berkata cukup keras, sampai membuatnya sempat menutup telinga. "Iya, ini aku. Kau kenapa sih?" Ali sepertinya risih kupeluk begini, apalagi dengan jarak wajah sedekat ini.

Tapi sebelum dia melepas kedua tanganku dari pinggangnya, aku kembali memeluknya sangat erat. Air mataku kembalii bercucuran, tapi kali ini karena kesenangan. Berkali-kali aku mengucapkan syukur, melupakan sejenak tentang Pavleur dan Axlizus buang tersiksa disana.

Tak lama kemudian, aku melepas pelukan. Kusapu air mata dengan cepat, membersihkan ingus dengan ujung baju, serta merapikan rambut yang kusut. Wajahku masih semerah tomat, dan kini aku malu sekali menatapnya. Ali menggaruk rambutnya canggung, tapi wajahnya tidak separah aku.

"Sebenarnya apa yang terjadi? Kau menangis, si Tanpa Mahkota tertancap panah. Apa ada sesuatu yang kulewatkan?" ucapnya. Dengan tersenyum aku berkata, "Memang ada sesuatu yang terjadi, tapi kini aku bersyukur karena semuanya telah kembali."

A Story of Raib Seli AliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang