59

610 75 14
                                    

Harex bukanlah belut listrik, Kraken, Hydra, atau ular raksasa seperti Cetus. Tubuhnya hanya setinggi dua meter dan panjang nyaris tiga meter, dengan ekor ikan di belakangnya. Sisiknya berwarna hitam dengan corak kebiruan di bagian pinggang ke bawah. Bagian pinggang ke atas, dia berupa kuda berbulu hitam dengan sedikit corak putih di leher. Surainya perak agak kebiruan. Mau tak mau aku bilang makhluk ini sangat gagah.

Di lain waktu, mungkin aku akan memuji makhluk ini. Tapi ini situasi lain, dan tak ada waktunya untuk kaget.

Kuda setengah ikan.

Itulah Harex. Sang Hippocampus. Lagi-lagi kami bertemu kuda, tapi yang satu ini kuda setengah ikan.

"Ra, dia ini hewan apa?" bisik Seli.

Kami menjaga jarak dengan Harex hingga tiga meter jauhnya. Tapi karena ruangan ini hanya sebesar tujuh kali enam meter, tak memungkinkan kami bergerak leluasa. Kami harus mencari tempat luas kalau tak mau setiap kali menyerang tertabrak kotak kayu. Selain itu, Ali harus mengambil Pedang Fervoez.

"Hippocampus. Kau tak tau? Tadi kau bilang tau tentang mitologi Yunani," balasku. Seli mendelik. "Aku 'kan hanya bilang sedikit. Bukan berarti tahu semuanya," belanya. Aku mendengkus.

"Jadi, Harex, apakah kau sang penjaga?" tanya Ali dengan seringai di bibirnya.

"Tentu saja. Dan jangan harap kalian bisa mengalahkanku." Harex meringkik layaknya kuda. Ekornya bergerak-gerak, menyibak arus air. Mata hitamnya tajam menatap kami, memperhatikan dari atas sampai bawah.

Tatapan meremehkan. Aku tau betul itu. Ia menganggap kami hanyalah anak ingusan yang tak bisa melawannya. Mungkin dia berpikir kalau kami akan pergi terkencing-kencing saat melihat seberapa besar kekuatannya.

Aku mengepalkan tangan. Tak boleh ada yang meremehkanku, Seli, ataupun Ali. Kami sudah melewati banyak hal –– bukannya aku sombong kalau kami ini hebat. Intinya, kami akan mengambil Pedang Fervoez dan pergi secepatnya darisini.

Kalau aku tak bisa mengalahkannya, baiklah. Pilihannya hanya ada dua; pergi layaknya pengecut atau bertarung layaknya seorang pahlawan dan mati di tangannya. Bukan pilihan mudah.

Pertama-tama, aku akan bertahan. Tapi saat kondisi kami kritis, kami akan pergi. Aku tak mau menjadi pengecut, tapi aku juga tak mau mati di tangannya. Bagi sebagian orang, kematian adalah salah satu ketakutan mereka. Aku tak bisa mati di kondisi seperti ini.

Tidak saat sebuah pertempuran akan meletus sebentar lagi.

Setelah itu, terserah saja kalau aku mati. Setidaknya aku mati saat urusanku di dunia sudah selesai.

Kenapa aku malah membicarakan kematian?!

Aku mengusap wajah. Kupasang kuda-kuda semantap mungkin dibawah tekanan air. Mataku lantang menatap Harex, tak terbersit ketakutan sedikitpun di mata hitamku.

Harex tampak mantap. Semantap Lapis. Tidak seperti Lixzaser yang selalu bertengkar setiap saat. Saat memperhatikan tubuhnya, barulah kusadari kalau dia lebih gagah dibanding Ignis. Aku tau Ignis salah satu Pegasus dengan kemampuan petarung handal. Tapi Harex? Sepertinya dia juga sama handalnya.

"Jangan membual. Apa kau tak tau kami membantai seluruh Siren-mu?" balas Ali.

"Para Siren tidak ada apa-apanya dibanding diriku. Mereka payah. Dan aku tak peduli kalau aku menebas kepala mereka atau menguliti mereka hidup-hidup. Tanpa mereka pun, aku bisa mengalahkan kalian. Aku tak memiliki nyanyain merdu melenakkan milik mereka, tapi aku bisa membuat kalian membunuh kalian dalam sekejap," katanya dengan sombong.

Ali berdecih. "Jangan membuatku tertawa!"

Splash

Bum

A Story of Raib Seli AliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang