"Ali, apa kau tau ini tahun berapa?" tanya Seli di tengah-tengah perjalanan.
Kami menuju arah timur dengan menaiki singa. Singaku dan Seli adalah singa betina, sementara Ali singa jantan. Ketiga singa berhasil kujinakkan hingga membuat mereka menjadi hewan tunggangan kami.
Tapi, kami masih waspada apakah singa-singa ini akan menerkam kami atau tidak.
Sebenarnya, menggunakan teleportasi bisa. Dan itupun jauh lebih praktis dibanding menunggang hewan liar. Tapi karena rasa penasaran kami dengan keadaan zaman ini, akhirnya kami memilih menunggang singa.
Aku melihat banyak sekali hal yang berubah dibanding masa depan. Disini, hutan lebih tebal, alam lebih terjaga – lebih terjaga dibanding alam di masa depan – spesies hewan jauh lebih banyak, dan masih banyak lagi.
Kami saat ini tengah melewati lembah. Aku menikmati pemandangan sambil sesekali menghirup udara segar. Jarang-jarang aku menemukan udara sesegar ini di Klan Bumi. Tau sendiri 'kan kalau klan itu penuh polusi.
"Aku belum bisa memastikannya," jawab Ali sambil melihat kompas, memastikan arah mereka sudah benar.
"Kau tak punya perkiraan ini tahun berapa? Biasanya kau pintar dalam segala hal," sahut Seli. Dia mencengkeram surai singanya agak was-was. Kami tidak menggunakan pelana, alhasil kami harus memegangi surai dan tengkuk singa ini.
"Tidak, aku tak tau. Tapi kupikir, ini sekitar lima ratus tahun yang lalu. Aku juga lupa menanyakan hal ini pada Ax."
Aku mengernyitkan hidung. "Justru aku senang kau tak bertanya pada Ax. Karena cowok itu akan heran pada kita. Dan yang terlintas di pikirannya pastilah 'kenapa mereka tak mengingat ini tahun berapa? Set*lol itulah ketiga remaja ini?'. Kurang lebih begitu," jawabku sambil menirukan suara Ax.
Ali nyengir sambil menggaruk rambutnya.
Kami melaju cepat melintasi lembah. Banyak hewan yang menyingkir ketakutan melihat tunggangan singa dadakan melintasi mereka. Hawa makin mendingin saat kami melewati lembah. Tapi aku tak memusingkannya. Toh, bajuku ini bisa menahan dingin.
Tak terasa, dua jam sudah terlewati. Kakiku terasa kebas karena terlalu lama di atas singa. Pantat dan punggungku pun terasa nyeri. Tapi singaku masih kuat berlari. Langkahnya cepat dan ringan seperti yang kurasakan saat aku menunggangnya beberapa jam yang lalu.
"Kita istirahat sebentar!" kataku. Saat ini kami melintasi padang perdu. Tak jauh disana, ada sungai. Tempat yang cocok dijadikan istirahat. Ditambah banyak pohon yang tumbuh di tepiannya.
"Ide bagus! Tulang punggungku rasanya mau patah!" timpal Seli.
"Ya. Kita istirahat di sungai itu. Singa-singa butuh mengisi perut sebentar."
"Ngomong-ngomong tentang pengisi perut. Apa singa-singa ini takkan memakan kita 'kan?" tanya Seli tiba-tiba. Dia memandang singanya setengah takut sambil sesekali melirik singaku dan Ali.
"Semoga saja tidak. Kalaupun mereka berniat memakan kita, kita bunuh saja mereka," sambar Ali. Aku mendelik sebal.
"Tidak ada bunuh-bunuhan! Mau bagaimanapun, singa-singa ini sudah membantu kita."
Ali memutar bola matanya malas mendengar penuturanku. "Baik, Tuan Putri Klan Bulan." Ali menundukkan kepalanya, bergaya hormat seperti saat bertemu bangsawan. Kalau sekarang aku tidak berada di atas singa, mungkin aku akan menggetok kepalanya dengan kayu.
Aku mengarahkan singaku menuju sungai itu. Dua singa lain mengikutiku. Tampaknya mereka patuh jika bersamaku. Mereka bahkan tak menghiraukan segala perintah Seli dan Ali. Sesekali mereka menggeram tak suka, seolah mengatakan 'diamlah, aku tak suka diatur. Atau kau akan kumakan nanti'. Alhasil, aku yang mengatur mereka. Beruntungnya mereka menurutiku tanpa banyak keluhan berupa geraman rendah.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Story of Raib Seli Ali
FantasyINI ADALAH FANFIC DARI BUMI SERIES! JANGAN NGIRA MACAM-MACAM! KALAU NGGAK SUKA, PERGI AJA! SAYA TAKKAN MENGHALANGI KALIAN! Petualangan kami ternyata belum berakhir. Musuh besar berhasil keluar dari Bor-O-Bdur dan berhasil menyatukan ketiga potongan...