41

729 76 14
                                    

Sesosok pemuda berjubah biru dongker berdiri di antara puing-puimg patung yang telah dihancurkan. Tangan kanannya menggenggam pedang yang berkilat-kilat diantara kegelapan. Iris birunya melotot, memandang setengah kebencian setengah penyesalan. Mata itu memerah, seperti habis berkaca-kaca. Rambut pemuda tersebut acak-acakan, tapi malah menambah kesan cool-nya.

Di matanya, bertengger benda mirip kacamata tetapi terbuat dari kaca bening. Benda itulah yang menahan dirinya supaya tak berubah jadi batu jika melihat Lapis.

Aura hitam mematikan keluar dari tubuh sang pemuda. Dinding dan permukaan gua perlahan membeku. Disusul dengan turunnya salju dan angin. Telunjuknya menunjukku dengan tangan terkepal kuat. Dia mencengkeram pedang teramat kuat, sampai membuat buku-buku jarinya memutih.

Lapis menggerung kala melihat pedang sang pemuda. Dia trauma dengan pedang, karena senjata itulah yang memotong sayapnya. Selain itu Lapis juga marah karena sang pemuda memakai benda yang sama persis dengan kacamata kami.

Ali di belakang sana, membatu. Di tangannya tergenggam kotak berukiran kuno dengan panjang lima puluh sentimeter dan lebar sepuluh sentimeter. Raut wajah senangnya berubah menjadi kaget. Ali nyaris menjatuhkan kotak. Beruntung tangannya sigap menangkap kotak.

Raut wajahku dan Seli sama sepertinya. Sang pemuda, tentu aku mengenalinya. Dialah pemuda yang baru kukenal beberapa hari yang lalu, tapi sudah dianggapnya sebagai teman baik. Sosok yang membuatku terpana karena ketampanan bak dewa. Dan sosok yang sudah membuatku malu setengah mati.

Arsley.

Atau di masa depan, dipanggil si Tanpa Mahkota.

"Arsley, apa yang kau lakukan disini?" Beberapa menit kemudian, barulah aku sadar.

Arsley menyeringai. "Justru seharusnya aku yang bertanya pada kalian. Kenapa kalian disini? Bukankah kalian berkata pergi ke Distrik Pulau Karang? Hmm, sebutan apa ya yang tepat untuk kalian?" Arsley memegang dagunya, seolah berpikir. Rautnya sangat dingin, lebih dingin dibanding es. Iris birunya makin menambah cekam suasana.

Arsley menjentikkan jarinya. "Ah ya, namanya kalau tak salah PENIPU!" Dia berteriak nyalang ke kami.

Kami mundur beberapa langkah. Sebisa mungkin kujaga jarak dengannya. Arsley dalam kondisi emosi yang buruk dan ia takkan memberi kami waktu untuk menjelaskan. Hanya soal waktu, Arsley akan menyerang kami.

Aku menatapnya getir. Ini bukan Arsley yang kukenal. Dia jauh berbeda dengan Arsley. Dia lebih seperti jati diri si Tanpa Mahkota. Sosok yang seperti iblis. Dan Arsley masih dalam sosok manusia nya.

Tatapan kecewa dilayangkan Arsley padaku. Pemuda itu mengucapkan sumpah serapah yang hanya bisa didengar olehnya. Aku tau. Arsley menganggapku teman baiknya walau baru bertemu. Dia mencurahkan kepercayaannya padaku.

Akan tetapi ....

Maaf, Arsley.

Aku sudah menghancurkan kepercayaan itu. Andai saja, dia bukanlah si Tanpa Mahkota. Andai saja dia bukan musuhku di masa depan. Mungkin, aku akan lebih terbuka dan mempercayainya. Tidak seperti ini.

Aku kaku.

Melihat Arsley membuatku membayangkan sosok si Tanpa Mahkota yang bengis. Aku tak sanggup. Walau hanya sekedar mempercayainya. Walau hanya sekedar menganggapnya selayak teman.

Karena dia ... tetaplah musuhku. Sampai selamanya.

"Sebenarnya siapa kalian? Aku tau kalian bukan hanya petarung biasa. Sejak awal, gerak gerik kalian sangat mencurigakan. Kalian memanggilku si Tanpa Mahkota. Kalian pucat saat bertemu denganku, seolah diriku ini Malaikat Maut. Dan saat memandangku pun, tatapan waspada tak pernah meninggalkan mata kalian. Siapa kalian?! Apa kalian penjahat? Darimana kalian tau Lapis menyembunyikan Tongkat Axlizus?!"

A Story of Raib Seli AliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang