39

640 74 8
                                    

"Syukurlah, kalian sudah datang."

Aku dan Seli disambut setengah senang setengah kesal dari Ali. Pemuda itu tengah bersembunyi di pohon rimbun, menutupi dirinya dengan dahan-dahan. Kedua macan tak kelihatan, tapi dari kejauhan kudengar raungan marah mereka. Mereka pasti kehilangan Ali sangat mengejarnya.

Ali melayang turun dan menapak di permukaan dengan gerakan pelan. Luka goresan di pipinya bertambah. Kuduga, ia mendapatkannya karena tak sengaja tergores ranting atau duri.

"Aku sudah cukup pusing terbang kesana-kemari dan berputar-putar," gurutunya. Aku nyengir lebar, Seli tersenyum tipis. Matanya awas menatap sekitar. Binar tak sabarannya menggelora, seolah ia sangat ingin melenyapkan kedua macan.

"Kemana perginya mereka?" desak Seli.

Ali mengerutkan kening melihat wajah tak sabaran Seli. "Kemungkinan satu kilometer darisini. Aku berhasil kabur dari mereka, syukurlah. Apa kau berhasil melenyapkan elang?" tanya Ali.

Seli mengangguk bangga. "Tentu saja, ini semua berkat Ra. Kalau saja dia tak memberitahuku kelemahan mereka mungkin kepalaku sudah tak menyatu dengan badanku lagi, huhu."

Ali mendelik ke arahku, aku mengangkat tangan dan menunjukkan peace. Dia mendengkus lalu menggaruk rambutnya – yang makin tambah berantakan.

"Padahal aku yang membuat idenya," gumannya yang bisa terdengar olehku. Seli menoleh bingung. "Kau bicara apa, Ali?" Oh, ternyata dia tak mendengarnya. Ali menggeleng jengkel, tak ingin memperbesar masalah.

Ggrrr

Dari arah timur sejauh lima ratus meter, tampaklah dua macan berwarna hitam pekat dengan tinggi satu setengah meter. Macan pertama berdiri di atas batu besar sementara satunya di permukaan. Cakar dan taring super tajam mereka pamerkan. Air liur sesekali menetes dari mulut mereka, membuatku bertanya-tanya. Mereka sebenarnya dari bangsa kucing atau anjing?

Si macan – yang menyerangku sebelumnya – berlari secepat cheetah disusul macan satunya. Seli memekik kaget melihat kecepatan berlari mereka. Ali menyiapkan kuda-kuda. Aku melongo. Dalam beberapa detik, kupastikan mereka sudah sampai disini.

"Cepat Seli!" teriak Ali tak sabaran.

"Oke."

Seli mengerahkan kekuatan cahayanya keluar. Tubuhnya terselimuti cahaya terang yang membuatku harus menutup mata saking silaunya. Ali bersorak senang dan matanya menyipit. Kedua macan nyaris terlepeset saat menghentikan  larian mereka. Mereka mengeram tak suka dengan keberadaan cahaya. Pun tak perlu repot-repot mengerahkan sekodi bayangan. Mereka hendak berlari pergi tapi langkahnya terhenti.

Barulah kusadari bahwa Seli menggunakan teknik kinetik untuk mencegah mereka pergi.

Kedua macan mengaum kesakitan. Sesekali mencakar-cakar tanah sebagai pelampiasan. Mereka juga meronta-ronta supaya dibebaskan, tapi percuma saja. Tubuh mereka terlilit teknik kinetik Seli, yang menyebabkan hanya kepala dan kaki yang bisa bergerak.

Cahaya Seli makin terang. Kedua macan makin menggila. Kuintip sebentar dan kusaksikan raungan penuh penyiksaan yang mereka alami. Jujur, aku kasihan. Ringisan tertahan keluar dari mulutku, sebagai saluran rasa kasihan.

Krak

Crash

Bum

Tubuh mereka pun hancur berkeping-keping, berubah menjadi serbuk kristal. Ledakan tercipta dan membuat angin kencang tertiup. Cahaya Seli meredup karena angin kencang membuatnya gelisah.

Badai.

Saking kencangnya, tubuhku nyaris terbawa terangkat jika tak segera mencengkeram akar pohon yang mencuat ke permukaan. Ali dan Seli mengikutiku. Menjatuhkan diri seolah tiarap lalu mencengkeram akar pohon terdekat.

A Story of Raib Seli AliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang