52

607 79 29
                                    

Kami turun di muara sungai dikarenakan tempat air terjun dipenuhi kapal dan sampan saat kami melewatinya. Banyak orang yang berlalu-lalang disana, melakukan jual-beli hasil tangkapan sungai. Mereka tak tau ada tiga Griffin yang melintasi langit –– atau mungkin memang terlalu sibuk hingga tak menyadari.

Karena tak memungkinkan turun disana, kami melintasi sungai hingga mencapai muaranya. Beruntungnya muara itu sepi. Hanya ada rusa-rusa yang minum di tepinya, ditemani kicauan burung kenari di atas kepala.

Zarf dan kedua temannya langsung pergi begitu menurunkan kami. Saat ditanya Seli kenapa buru-buru, Zarf menjawab, "Kami harus membantu Ratu memperbaiki istana. Aku yakin istana jadi sangat kotor gara-gara siluman itu."

Aku tertawa. Padahal Istana Langit betul-betul bersih sampai tak ada debu yang menempel sedikitpun. Atau mungkin aku-nya saja yang tak tau.

Kami duduk beristirahat dibawah pohon linden sebentar. Omong kosong melanjutkan perjalanan, tubuhku terasa mau remuk semua. Bunyi tulang-tulangku pun terdengar. Begitu juga dengan Seli dan Ali. Mereka melemaskan tubuh dengan menggerakkannya beberapa kali.

"Li, petunjuk Pedang Fervoez mana?" Seli bertanya dengan nada preman memalak. Ali melemparkan buku Tiga Senjata. Seli dengan sigap menangkapnya.

Ia membalik-balikkan halaman secara acak, matanya cepat memperhatikan deretan tulisan yang sudah diterjemahkan. Bagian Pedang Fervoez berada di belakang, mengingat senjata itu sendiri yang paling akhir. Simbol-simbol aneh dengan rune kuno memenuhi satu halaman.

Peta Bumi terhampar di dua halaman sekaligus. Peta kuno yang hanya berwarna cokelat itu usang dan tulisannya pun tak jelas. Seli sampai melotot untuk membacanya.

Menyerah, Seli membalikkan halaman berikutnya. Disitulah bait-bait petunjuk berada. Ditulis dengan huruf miring kekanakan.

Di samudra lah kau harus mencari.

Benua Hitam yang dilewati.

Mitologi yang tak kekang oleh zaman.

Disitulah sang penyanyi berada.

Kapal karam di bawah sana.

Satu-satunya pemilik kekuatan.

Air janganlah dilawan dengan api.

"Benua Hitam?" kataku dan Seli bersamaan. Kami saling tatap. Ali masih duduk tenang bersandar pada pohon. Tapi dari gelagatnya, aku tau dia memikirkan sesuatu. Aku cukup hafal gerak-gerik Ali seperti apa.

"Benua Hitam ... aku pernah mendengarnya. Tapi dimana, ya?" gumanku. Kami berdua berpikir sembari membaca-baca ulang bait-bait petunjuk. Sesekali Seli menggaruk rambutnya yang tak gatal atau aku yang memperhatikan kawanan burung pipit di atas sana.

"Itu 'kan julukannnya Afrika. Bagaimana sih kalian ini? Begitu saja tidak tau." Ali tiba-tiba menyahut, masih dengan mata tertutupnya.

"Ah ya, baru ingat. Hehehe." Aku cengar-cengir sambil merutuki kebodohan sendiri. Bagaimana aku tak ingat Afrika memiliki julukan Benua Hitam? Baiklah, sepertinya aku harus lebih rajin baca buku lagi.

"Berarti samudra mana yang melewati Afrika yang sekiranya tempat Pedang Fervoez? Samudra Hindia atau Samudra Atlantik?" sambungku.

'Mitologi yang tak kekang oleh zaman' cukup mengangguku. Kami sudah bertemu tiga makhluk mitologi sebelumnya; Naga, Pegasus, dan Griffin. Lantas kami akan menghadapi makhluk mitologi seperti apa lagi?

Tidak. Ini bukan pertanyaan tentang makhluknya, melainkan hanya mitologi. Itu berarti aku tak harus berfokus pada makhluknya. Kemungkinan ini tentang cerita-cerita mitologi. Tetapi apa? Afrika ... Hindia ... Atlantik? Yang mana diantara ketiga tempat itu yang memiliki mitologi? Atau setidaknya pernah disebut dalam mitologi.

A Story of Raib Seli AliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang