"San, kamu masih kuat jalan kan?"
"Aduh, bawel lo. Sakit banget kaki gue. Mana cepet banget lagi tuh nenek-nenek?" Ia mengomel saat dipapah Nayla.
"Jangan ngomong gitu." Keduanya berhenti melangkah saat nenek tua itu menghentikan langkahnya juga.
Seketika Nayla meneguk salivanya. "Ada apa nek?"
"Kaki kamu sakit ya Cu?" Berbalik dan menatap Sandra.
"Emm...enggak kok nek. Nggak papa lanjut aj--"
"Jangan, mending kita obatin dulu luka kamu. Kita mampir dulu kerumah nenek gimana? Deket kok darisini." Tersenyum.
Nayla dan Sandra saling tatap. "Tapi, ini udah malem nek. Takutnya yang lain khawatir? Nggak papa--"
"Nenek bukan orang jahat Cu, ayok ikut." Meraih tangan dua gadis remaja itu.
Deg
Ini....tangan ini dingin sekali? Tak ada penolakan, mereka mengangguk patuh.
Vito menendang ranting didepanya. Sial, kenapa mereka tidak ada? Padahal tadi suara teriakanya berasal darisini?
"Hah, mana? Sandra!!" Pemuda itu mengacak rambutnya kesal. Entah sudah berapa jam mereka celingak-celinguk ditengah hutan?
Gadis-gadis memang selalu merepotkan.
"Gue yakin tadi suaranya darisini Vit."
"Gue juga, tapi mana? Mereka nggak ada."
Riko baru ingat... "Lo denger kalo mereka teriak tadi, terus nggak ada. Apa mereka baik-baik aja? Vit, perasaan gue nggak enak."
Menghela nafas kasar. Apa yang akan mereka temui dihutan belantara pada malam hari? Selain binatang buas dan, Roh penunggu? "Kita cari kesana." Menunjuk arah lurus.
¤¤¤
Ditempat kemah, pak Makmur sudah memanggil juru kunci hutan yang mereka tempati saat ini.
Bukan sekadar isu namun memang nyata, hutan ini dulunya dirawat dan selalu dibersihkan oleh pasangan suami istri Alm. Bapak Fulan dan Almh. Ibu Fulin.
Sampai akhir hayat dua pasangan itu tetap menjaga hutan ini.
Pak Makmur menanggapi dengan sangat serius. "Lalu, kami harus bagaimana Wa?"
Uwa, itu sebutan untuk juru kunci hutan daerah pedesaan ini. "Ada kawasan yang sangat rawan dihutan ini Pak Guru. Air Terjun Kembar. Siapapun yang mendekati kawasan itu, sedikitnya akan menimpa kemalangan."
Semua tercengang mendengar penuturan sang juru kunci. Untuk anak-anak kota seperti anak SMA Kasturi, akan sedikit sulit menerima mitos ini bukan?
Di zaman canggih ini, apa hal seperti itu masih ada? Harus dipercaya sejauh apa?
Nesa sudah meneteskan airmatanya. "Mey, Nana gimana dong? Gimana kalo dia ke air terjun kembar itu? Hiks...gue nggak bisa bayangin.."
"Jangan ngomong gitu, Nayla bakal baik-baik aja. Mending kita do'a buat keselamatan semuanya."
"Sandra, lo gimana disana? Haa gue nggak mau lo kenapa-napa.." Semua nampak memilukan. Kemah yang sudah dirancang sangat menyenangkan, menjadi kacau bahkan mencekam seperti ini.
"Anak-anak, lebih baik kita berdo'a untuk keselamatan yang lain. Ayok kita berdo'a.."
Dipimpin oleh Uwa kuncen. Mereka merapalkan do'a kepada sang kuasa. Dengan harapan teman-temanya kembali selamat.
Masih dengan ketakutan besar dihati Nayla, mereka mengikuti kemana langkah nenek tua tadi.
"Nek, masih jauh nggak ya?"