BAGASKARA.

6.2K 323 20
                                    

"Saya tahu, kamu pasti bisa mengurus Dion Wiroso. Tolong Vito, kami selaku tenaga pendidik dan kependidikan sudah kewalahan mengurus perilakunya."

"Saya bukan penguasa sekolah Pak. Kalau memang tidak bisa diatur, bapak bisa langsung mengeluarkan Dion."

Kepala sekolah menghela napas berat. Bahkan jika bisa, orangtua anak itu sudah memohon dengan sangat agar putranya tidak dikeluarkan. Reputasi keluarga taruhanya.

"Vito, kami percaya sama kamu."

"Tapi bapak masih punya osis. Saya cuma murid biasa, nggak punya prestasi. Gimana Dion bisa nurut sama saya?"

"Tolong Vito, kamu murid laki-laki yang paling disegani disekolah. Memang kami punya ketua osis, bahkan yang menyelamatkan Nayla juga Riko. Tapi dia melawan, dia tidak patuh. Saya pikir, kamu bisa menangani masalah ini."

"Saya tidak punya urusan dengan Dion Pak."

"Permisi?"

"Pak Makmur, silakan duduk."

Guru itu menduduki kursi yang ada di sebelah ketua Venus.

"Maaf mengganggu. Kedatangan saya kemari hanya ingin menyampaikan kalau Dion sama sekali tidak takut diancam oleh sekolah."

"Dari mulai kelas sepuluh, sikap Dion semakin keras saja. Saya takut ini akan mempengaruhi masa depanya." Pak Makmur setuju, apalagi dia adalah salah satu generasi muda bangsa ini.

"Vito, saya harap kamu mau membantu sekolah." Kepala sekolah masih berusaha membujuknya.

"Kalau boleh, saya juga sangat setuju dengan pendapat kepala sekolah. Karena brutal harus dilawan dengan brutal juga." Pak Broto mendelik. Pak Makmur ini, dengan cara halus saja dia terus menolak.

"Jangan tersinggung, memangnya bapak salah bicara?" Guru laki-laki itu melihat pada objek dingin disebelahnya. Vito hanya diam saja, menatap lurus dengan ekspresi datarnya.

"Vito, bapak akui, kamu dan teman-teman kamu itu anak baik-baik. Selama ini bapak selalu menganak tiriakan kalian. Bapak minta maaf." Masih menatap lurus. Siapa peduli?

"Saya akan coba urus Dion pak. Permisi?" Bukan penguasa tapi tingkahnya mengatakan sebaliknya.

Pak Broto tersentak. Ternyata pawang anak Venus itu pak Makmur?

"Hebat pak Makmur."

"Karena saya merasa bersalah pak. Saya yakin Dion mau mendengarkan Bagaskara."

Saat keluar dari ruangan yang paling disegani itu, banyak mata yang menatapnya, apalagi mata para siswi.

"Kak Vito, hai?"

"Kakak ganteng banget si?"

"Yaampun mukanya ngegoda banget sumpah!"

Catat, sudah tiga tahun. Entah sudah terbiasa atau apa, tapi yang pasti selama itu ia tidak pernah sedikitpun melirik gadis-gadis ini. Bukan sombong, hanya saja, tidak tertarik.

"Vito? Hai?" Sandra dan Dara mengapitnya.

"Em, kamu kok dipanggil kepala sekolah? Kamu oke kan?" Mulai memegang tangan kekar itu.

"Lepasin tangan lo."

"Aku tanya Vito, kamu nggak papa?"

"Lepas." Hatinya kesal, dia ini terlalu sulit digapai. Bahkan, untuk dipegang tangan pun tidak mau.

"Vit," Sandra membuat langkah mereka terhenti. Ia berusaha menatap retina hitam itu walau tak ada balasan. "Aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu. Please give me one opportunity."

VITO BAGASKARA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang