BAB 30

38.2K 3.6K 205
                                    

RISYAD

"Kejutan apa?"

Dia kelihatan ragu-ragu namun akhirnya buka mulut juga.

"Tira kan hamil, Mas. Kamu..."

Dia menghentikan kata-katanya. Entah kenapa aku memiliki praduga kelanjutan kalimatnya.

"Kamu pikir itu anakku?" tanyaku dengan tenang.

Dia menunduk dan diam. Tapi sikap itu sudah cukup memberikan jawaban yang kubutuhkan, Kenanga benar-benar meragukanku.

"Aku nggak nyangka kalau rasa tidak percaya kamu bahkan bisa membuat ramalan seperti itu, Na. Tukang selingkuh dan menghamili wanita lain. Aku memang penjahat di matamu ya?"

Dia masih diam dan itu makin menusukku.

"Sudahlah, Na. Terserah kamu saja baiknya gimana. Kalau kamu bilang hubungan ini tentang aku dan kamu, kamu salah. Semua ini tentang kamu dan bukan aku kan? Kamu sudah dibutakan oleh praduga kamu itu bahkan menutup telinga dan pikiranmu untukku."

Tanpa menantikan tanggapan aku meninggalkannya. Aku meraih kunci salah satu mobilku dan pergi meninggalkan rumah. Aku cuma tahu dua hal yang bisa mengalihkan pikiranku sekarang, rokok dan udara segar. Jadilah aku menancap gas menuju jalan tol. Kecepatan dan angin malam mungkin bisa membantuku mengusir suntuk.

Oh ya sudah kukatakan aku butuh rokok kan? Rokok, kecepatan, dan angin malam terlihat sebagai kombinasi sempurna untuk malam ini. Sebelum memasuki gerbang tol, aku memilih mampir ke salah satu supermarket dan membeli beberapa bungkus rokok. Namun aku jadi bimbang ketika sudah memegang bungkusan itu dan diam di depan supermarket. Tiba-tiba pikiran warasku kembali, aku merasa apa yang akan kulakukan sekarang tidaklah bijak. Moodku memang hancur, kalau aku mengemudi bisa-bisa berbahaya. Niatku ngebut-ngebutan di jalan tol bisa berakhir membahayakan nyawaku dan nyawa orang lain.

Lebih baik merokok saja, aman. Aku mengambil tempat di kursi yang diletakkan di teras supermarket sebagai fasilitas pengunjungnya. Tapi aku justru kembali bimbang dan hanya memainkan tiga bungkus rokok dengan merek yang biasa kusedot dulu. Aku cuma membakarnya namun tak menghisapnya sekalipun. Bukan cuma karena ingat usaha menghentikan kebiasan tak sehat ini bisa sia-sia, tapi jadi mengingat peringatan Kenanga kalau aku pulang dengan keadaan bau rokok. Dia pasti nggak suka.

Sialan.

Kenapa otakku masih saja mempertimbangkan penilaian wanita yang barusan menghancurkan hatiku itu sih? Padahal jelas aku tak lupa setiap katanya padaku tadi. Tukang selingkuh dan bisa memiliki anak dengan wanita lain. Ya ampun. Sungguh mengesalkan. Saking kesalnya aku sudah tidak lagi peduli mau diapakan hubungan kami olehnya. Mau putus, cerai, atau apapun itu terserah dia saja. Kurasa aku sudah cukup bersabar kan? Apa dia kira aku ini tak bisa marah dan kesal hanya karena aku yang meminta mempertahankan pernikahan ini, atau karena aku nampak jauh lebih mencintainya ketimbang dia mencintaiku? 

Aku bersungguh-sungguh, terserah dia saja.

KENANGA

Aku akhirnya mengatakan keinginku pada Mas Risyad. Berpisah dari hubungan kami yang sempat dekat itu. Ah, aku bahkan menamakannya pacaran. Pacaran selagi sudah menikah. Kekanak-kanakkan sekali kan? Norak juga. Ya aku tahu. Mungkin itu karena aku terlalu bahagia saat itu. Jenis hubungan kami sekarang sudah berganti dengan hubungan awal kami dulu. Hubungan statis dan menjauhi kemesraan kecuali untuk menyenangkan orangtua kami atau alibi di depan umum. Itu yang kuungkapkan padanya.

Reaksinya? Dia masih menolaknya. Kami berdebat lagi hingga terpancinglah aku mengatakan ganjalan lainnya di hatiku. Selain mengenai keterbukaan, status anak yang dikandung Tira juga menggangguku. Akhirnya terlontarlah begitu saja dan hal itu sukses membuat dia mengiyakan mauku. Salah, dia nampak tak peduli karena dia mengatakan 'terserah'. Bukannya lega atau senang, hal itu membuatku menangis. Pada akhirnya aku akan tetap menangis padahal inilah akhir yang kuinginkan kan? Munafik memang.

Pemilik HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang