BAB 19

47.7K 4.1K 85
                                    

RISYAD

"Kamu mau makan apa, Na?" tanyaku kepada Kenanga yang duduk manis di pantry sementara aku berdiri di depan kompor.

Tadi aku mengajak Kenanga untuk makan diluar daripada pergi ke kantor tapi dia menolak. Aku kira itu karena dia masih merasa canggung denganku, tapi ketika kutanya kenapa dia menolak jawabannya justru membuatku tersenyum. 

"Aku kecapekan, Mas. Kita makan di rumah saja ya."

Ya, aku tahu aku sedang norak karena tersipu untuk hal begitu saja. Tapi ketika mendengar itu, kenangan manis semalam jadi terputar. Apa ini tandanya aku memenangkan hati Kenanga? Kuharap begitu. Akhirnya aku menuruti maunya untuk makan di rumah saja dan membuatnya berkesan dengan maksudku memasakkan sesuatu untuknya.

"Memang Mas Risyad bisa masak apa?"

"Yang sederhana saja, Na. Biar cepet. Gimana kalau mie instan?"

Dia terkekeh tapi kemudian mengangguk. Karena diluar sedang hujan deras dan hawa dingin, aku memasak dua mie rebus untuk kami. Setelah matang aku menyajikannya untuk kami.

"Kamu kan biasa masak Na, apa menu andalan kamu?" tanyaku sembari menyuap mie.

Dia berpikir sejenak, "Cinnamon roll. Itu masakan pertama yang kupelajari ketika tinggal disini, aku sering melatihnya jadi sudah ahli. Aku suka dapur rumah ini, Mas. Alat-alat masaknya lengkap."

"Oh ya? Kapan-kapan kamu bisa bagi untukku. Aku juga suka selai buatan kamu. Sayangnya aku baru tahu rasanya belum terlalu lama ini."

"Iya, Bu Tris bilang kamu sering menghabiskan stok punyaku." Dia sedikit manyun tapi menggemaskan.

"Mungkin kamu harus bikin lebih banyak, Na. Aku suka meniru pilihan menu sarapanmu itu."

Dia tersenyum dan mengangguk. Tidak ada hal serius yang kami bahas selama kami makan. Kebanyakan mengenai hobi kami. 

"Mas, aku boleh tanya sesuatu?" tanyanya ketika kami sudah beralih kegiatan ke membaca.

Aku meletakkan kepalaku ke pangkuannya sembari membaca buku sementara dia duduk dan menonton fashion tv. 

"Tentu. Ada apa?"

"Sebenarnya apa yang kamu mau dariku sih?"

Aku menutup bukuku dan mengambil posisi duduk menghadapnya. Kali ini aku sudah bisa menangkap kegelisahan di matanya.

"Maksudku soal semalam," lanjutnya.

"Apa kamu menyesal, Na?"

Dia menatapku lekat cukup lama kemudian menggeleng. Jujur aku agak kecewa karena jeda berpikir itu. Well... Mari kita luruskan semua ini sekarang.

KENANGA

Apa yang dilakukan dan dikatakan Mas Risyad terasa seperti candu bagiku. Antara candu madu tapi juga harus diwaspasai sebagai racun untukku sendiri. Bohong kalau aku tidak tersanjung dengan perlakuan manisnya kepadaku, hanya saja aku juga takut ini semua hanyalah wujud egonya yang merasa tak suka dengan kedekatanku dan Panji. Ya aku terlalu munafik karena menitik beratkan semua ini kepadanya, karena bagaimanapun aku memang menikmati semua ini.

Ada banyak pertanyaan di benakku mengenai kami semenjak semalam.

Kenapa dia tiba-tiba saja berlaku manis padaku?

Kenapa dia tiba-tiba datang padaku?

Hingga puncaknya aku memberanikan diriku untuk bertanya, "Sebenarnya apa yang kamu mau dariku sih?"

Dia menghela nafas dan menatap tautan tangan kami. Tangannya besar dan sedikit kasar.

"Aku sudah pernah mengatakan mauku, Na. Saat malam kita di Lembang. Aku ingin kamu sepenuhnya dan kamu tidak boleh mengijinkan pria manapun mendekatimu."

Pemilik HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang