BAB 17

45.1K 4.3K 154
                                    

KENANGA

Tentu saja aku terkejut ketika tiba-tiba Mas Risyad muncul di vila ini. Dia sedang sakit tapi kenapa terbang kesini? Untuk apa? Menjemputku? Khawatir? Ah, mungkin memang khawatir. Tepatnya khawatir aku main serong dengan Panji yang bisa berdampak buruknya nama buruk keluarga. Ya setidaknya itu terbukti dengan kilatan amarah di matanya ketika kami bertemu. Dia jadi menjemput paksa aku.

Sebenarnya aku tidak suka cara ini. Meskipun Panji sudah tahu bagaimana hubungan kami yang tak bisa dibilang baik-baik saja, tapi menunjukkan amarah atau bertengkar di depannya saat ini juga terasa tidak benar. Untuk menghindari kemungkinan perdebatan atau mungkin adu jotos, aku memilih menuruti kemauan Mas Risyad untuk pergi dengannya sekarang. Tapi sebelum aku keluar, aku memperhatikan peringatan Panji soal hujan yang masih turun. Aku bahkan menerima payung yang disodorkannya sebelum pergi. Setidaknya aku masih ingat Mas Risyad masih belum benar-benar sehat jadi bisa jadi lebih parah kalau dia kehujanan.

"Mas, pelan jalannya."

Entah sudah berapa kali aku memintanya memperlambat langkah kakinya yang cepat. Selain itu langkahnya lebar, beda dengan langkah kakiku yang panjangnya tak sebanding dengan panjang kakinya.

"Pelan, Mas. Ini hujan. Mas Risyad kan lagi sakit, jangan hujan-hujan."

Dia tiba-tiba menghentikan langkahnya. Mungkin sadar kami akan basah kuyub kalau memaksa pergi. Kupikir dia akan mengajakku menepi dari jalanan setapak menuju lobby ini, tapi tidak. Mas Risyad cuma diam dan mengabaikanku. Kugunakan kesempatan itu untuk membuka payung yang diulurkan Panji tadi. Tapi apes sekali, payung itu tidak bisa dibuka. Mungkin rusak.

"Gerimis, Mas. Kamu baru enakan kan? Kalau kehujanan bisa demam lagi" ujarku sambil terus menggerakkan payung di tanganku.

"Susah sekali. Apa rus-"

Mas Risyad merebut payung dari tanganku dan melemparkannya menjauh begitu saja. Tapi daripada gerakan itu, gerakan lainnya yang justru mengejutkanku. Setelah melempar payung, Mas Risyad melepaskan gandengan tangannya kemudian menarikku mendekat. Dia menciumku. Bukan cuma sekedar menempel, dia benar-benar melakukannya dengan kasar. 

Kejadian di masa lalu mengingatkanku bahwa mungkin saja Mas Risyad saat ini sedang mabuk. Sama seperti malam itu. Itulah mengapa aku langsung mencoba mendorongnya. Baru terlepas, dia kembali menarikku mendekat. Cengkramannya membuatku panik. Sulit menjaga kesadaran saat ini, dicium oleh pria yang kucintai sekaligus pria yang suka menyakitiku membuat perasaanku campur aduk.

Aku diam hingga dia melepasku atas kemauannya sendiri. Mata kami bertemu dan diam menguasai kami. Hanya ada suara angin, pertemuan air dan tanah, serta nafasnya yang memburu.

"Mulai sekarang nggak boleh ada laki-laki lain selain aku di hidupmu, Na."

Apa artinya itu? Apa semanis yang kuterjemahkan di otakku? Ya sepertinya begitu. Kata-kata yang membius itu membuatku tak lagi menolak ketika Mas Risyad kembali mendekat. Kami bercumbu di bawah remang cahaya dan guyuran hujan. Aku nggak peduli kalau besok kami jadi sakit. Aku ingin menikmati mabuk karena cumbuannya.

RISYAD

Mungkin karena aku sudah larut dalam amarah dan frustasiku menghadapi Kenanga. 

Mungkin karena aku tidak suka ada seseorang yang mengusik 'kepunyaanku'.

Mungkin karena aku terbawa emosi.

Atau mungkin, aku memang menginginkan Kenanga.

Mungkin salah satu kemungkinan itulah yang membuatku memaksa cium dia. Iya, paksa. Dia tidak membalas setiap lumatan itu dan diam seolah memendam amarah. Namun semua itu berubah ketika aku mengatakan bahwa aku tidak lagi mengijinkan ada laki-laki lain dalam hidupnya. Tatapan matanya bingung dan itu justru 'mengundang' aku kembali mencumbunya.

Pemilik HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang