RISYAD
Tadi aku cukup heran mendapati Kenanga di ruang tengah, dia nampak tak istirahat juga. Kata pembantuku, Kenanga memang tak tidur. Apa dia menungguku? Mungkin. Rasa bersalah pasti membuatnya kesulitan tidur. Melihat keadaannya aku ingin sekali memeluknya dan mengatakan apa yang kulewati semalam. Kecewa mendengar keputusannya, marah karena harus memendam rahasia, dan frustasi. Tapi tentu saja aku tak melakukannya, aku tak mau ditolak lagi. Jadi aku memilih mengabaikannya dan berlalu ke kamar.
Setelah tidur tiga jam, aku terjaga karena panggilan telepon dari Diana. Aku memang meminta bantuan Diana untuk memenangkan kembali hati Kenanga. Aku tahu kemungkinannya kecil, tapi aku ingin meminta bantuannya. Dan benar saja hasilnya nihil.
"Sebenarnya apa yang kamu sembunyikan, Mas?"
Aku terdiam. Ingin rasanya aku memuntahkan rahasia ini, tapi aku memegang janjiku. Bagiku, laki-laki harus bisa memegang janji. Lagipula, aku bisa mengatakannya kalau anak Tira sudah lahir kan? Kurasa saat itu sudah aman karena anak itu sudah sah menjadi anak Pak Donny. Itu tidak akan lama lagi.
"Kamu bertekat menyembunyikannya?"
Diana sangat mengenalku. Akupun mengiyakan.
"Kalau waktunya tiba aku akan mengatakannya, Di. Aku janji."
Dia menghela nafas kasar, "Pastikan saat itu perasaan Kenanga masih berpihak padamu. Jangan lama-lama."
"Akupun ingin begitu, Di."
"Mas, sebenarnya aku punya usul untuk memperbaiki hubungan kalian. Tapi aku tidak tahu kamu mau melakukannya atau tidak. Perkiraanku, tingkat keberhasilannya lumayan tinggi untuk mendinginkan suasana pernikahan kalian."
Apapun itu, patut dicoba asalalkan kadar keberhasilannya tinggi.
"Mintalah bantuan Papa dan Mama. Kamu tahu kan gimana Kenang kepada mereka? Aku yakin Kenanga akan menuruti mau mereka."
Dan karena usulan Diana itulah aku memutuskan untuk tidak pergi ke kantor hari ini. Sementara Kenanga tetap ngantor, dia memang luar biasa. Bisa tetap memikirkan pekerjaan saat rumah tangganya sudah diujung tanduk begini. Aku terbang ke Surabaya dengan penerbangan dengan jadwal terdekat untuk menemui kedua orangtuaku. Entah bagaimana caranya aku ingin mereka membantu.
Saat melihatku muncul di rumah kami di Surabaya, kedua orangtuaku bingung. Aku datang tanpa rencana dan sendirian. Meskipun maju mundur, akupun mengatakan maksudku datang kesini. Aku menceritakan semua cerita itu urut dan lengkap. Mulai dari keputusan menikahi Kenanga, perasaanku yang tumbuh kepadanya, dan terakhir perdebatan semalam. Dan aku masih bertahan memegang janjiku pada Tira dan Dewa.
Reaksi orangtuaku? Mama mendiamkan aku, dia bahkan enggan menatapku begitu aku usai bicara. Mungkin baginya aku adalah pengkhianat terbesar yang pernah ada di muka bumi. Sementara Papa...
Aku ingat sewaktu aku ketahuan ikut tawuran semasa SMA, Papa sangat marah namun menyembunyikannya dengan baik. Sepulang menjemputku dari kantor polisi, dia malah mengajakku judo dan menjadikan itu kesempatan menghajar badanku. Malangnya aku, Papa belajar judo dengan baik. Tatapan mata Papa saat ini adalah tatapan dingin penuh amarah terpendam ketika membanting-banting tubuhku dulu. Meskipun aku juga sudah belajar bela diri saat itu, aku tentulah bukan lawan imbangnya.
"Tolong katakan sesuatu," ujarku pelan.
Pengakuanku saat ini jauh lebih menyiksa ketimbang terhadap Kenanga dulu. Aku merasa buruk sekali karena mengecewakan orangtuaku.
"Kamu mau dibantu apa? Padahal kuncinya ada di kamu, Ris. Tinggal jujur apa sulitnya sih?" Mama yang dari tadi diam ternyata membuka mulutnya terlebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pemilik Hati
RomanceKenanga dan Risyad tahu bahwa pernikahan mereka adalah mengenai kebahagiaan orangtua mereka. Bukan cuma mengenai balas budi, tapi juga menyelesaikan tugas sebagai anak yang sudah habis masa bebasnya. Ketika keduanya memilih tinggal dalam ikatan pern...