BAB 36

40.4K 3.9K 128
                                    

RISYAD

Kenanga sudah mengirimkan gugatan cerai kepadaku. Dia serius ingin berpisah denganku kali ini. Tapi aku tidak akan mengabulkannya sekalipun, aku tidak ingin bercerai dengannya. Dia sepertinya membuat proses gugatan ini berjalan lebih cepat dari kasus biasanya. Seharusnya pemerintah merubah aturan untuk bercerai dengan membuat lama setiap proses. Itu menguntungkan orang-orang yang masih ingin bersama pasangannya, seperti aku. Apa bagusnya negara dengan jumlah perceraian yang tinggi?

Kemarin pengacara Kenanga memberitahuku bahwa hari ini kami dijadwalkan menghadiri sidang mediasi. Dia sempat meminta konfirmasi kehadiranku yang tak kugubris. Kenapa dia harus bertanya? Apa Kenanga tidak mengatakan kepada pengacaranya kalau aku tidak bersedia bercerai? Atau dia memaksaku? Untuk apa?

Akupun tak menghadiri sidang itu tadi pagi, justru memilih latihan muay thai dari jam tujuh hingga jam sepuluh pagi, sekalian menghindari Kenanga. Aku yakin kalau tadi pagi kami sempat berpapasan, dia akan mengingatkan aku soal sidang itu atau sekalian memaksaku berangkat. Ide buruk.

Setelah memastikan Kenanga tidak lagi berada di rumah, aku baru menyusul meninggalkan rumah. Tentu saja aku tidak menuju kantor, percuma juga kesana sementara pikiranku berlari kesana kemari. Selain itu, kantor adalah tempat pertama yang dituju Kenanga untuk mencari keberadaanku karena aku tak menghadiri sidang. Jadi disinilah aku, rumah panti asuhan Bu Ningsih, rumah lama Kenanga, dan salah benang merah takdir pertemuanku dan Kenanga. Tak ada alasan yang pasti kenapa aku memilih kesini. Hanya saja aku yakin Kenanga tak akan mengecekku disini kalau aku tak muncul di sidang itu. 

"Ibu nggak perlu repot-repot," ujarku pada Bu Ningsih yang menyuguhkan secangkir teh hangat untukku.

"Tumben Mas mampir? Sendirian lagi."

Wajar sih Bu Ningsih heran aku datang kesini, aku tak pernah berkunjung sama sekali. Meskipun menjadi donatur tetap, aku memang tak pernah muncul di panti ini. Pasti lebih kelihatan aneh bagi Bu Ningsih karena aku datang sendirian, untuk urusan apa juga aku disini. Berbeda dengan Kenanga yang punya lebih banyak alasan masuk akal untuk melakukan kunjungan. Andai Bu Ningsih tahu bahwa aku disini karena menghindari sidang mediasi perceraian, dia pasti khawatir. Anak asuh kesayangannya itu ingin menjadi janda.

"Apa sedang ada masalah? Selisih paham dengan Kenanga?"

Selisih paham. Aku harap masalah kami memang sesederhana itu, selisih paham. Nyatanya tidak. Menyimpan rahasia Tira membuatku dituduh hingga akan diceraikan. Bahkan sekarang aku harus bersembunyi dari Kenanga sampai sidang mediasi usai.

"Ya namanya juga pernikahan, Bu" jawabku netral.

Bu Ningsih tersenyum kemudian mengajakku membicarakan hal lain seperti pengelolaan dana yang selama ini kukirimkan, kehidupan panti, dan hubungannya dengan orangtuaku. Topik itu cukup ringan dan bisa mengalihkan pikiranku sesaat. Hingga beberapa jam kemudian aku memutuskan pamit.

"Mas Risyad, titip Kenanga ya. Ibu tahu kalau anak itu keras kepala, tapi Kenanga sangat dewasa. Apapun yang terjadi tolong jaga dia."

Itu pesan terakhir Bu Ningsih sebelum aku meninggalkan panti asuhan. Aku setuju dengan pernyataan kalau Kenanga keras kepala. Hanya saja, wanita itu sekarang menolak untuk kujaga. Dia justru ingin terlepas dariku meskipun aku sudah berkeras menolaknya. Aku menjawab Bu Ningsih dengan anggukan dan janji akan terus bertahan dalam hati.

Aku mengemudikan mobilku sembari menyalakan handphoneku yang sengaja kumatikan dari pagi. Begitu handphone menyala dan mendapat sinyal, ada puluhan pesan masuk dan catatan panggilan. Nomor Kenanga mendominasi, yang kedua adalah nomor pengacara. Aku menatap pasrah layar handphoneku kemudian memasukkannya kembali ke dasbor mobil. Lebih baik aku mengemudi dengan tenang.

Pemilik HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang