BAB 40

47.4K 4.6K 306
                                    

RISYAD

"Kamu dari mana?" tanyaku berbasa-basi ketika dia sudah duduk di sofa seberangku.

"Makan dengan Dokter Desi," jawabnya.

"Oh."

Aku menghela nafas pelan kemudian menatapnya, "Na, aku sudah memutuskannya. Aku akan mengabulkan permohonan ceraimu. Kamu bisa mulai mengurusnya lagi kapanpun kamu mau. Aku siap kapanpun kamu siap."

Akhirnya terlontar sudah. Meskipun hatiku terasa seperti diremas saat mengatakannya, tapi ada perasaan lega bisa membuat gurat jutek di wajah Kenanga memudar seperti saat ini. Ya, benar aku bahagia melihat dia bahagia.

"Kenapa kamu bersedia sekarang?"

Aku memainkan jari-jariku yang tertaut untuk meredakan desakan sesak di dadaku.

"Aku hanya memberikan apa yang kamu inginkan, Na. Mungkin ini kesempatan terakhirku membuat kamu bahagia. Kalau kamu bahagia, anak kita akan bahagia juga kan? Aku ingin kalian bahagia," jawabku.

Dia tak mengatakan apa-apa dan hanya menatapku datar.

"Tapi aku butuh waktu adaptasi, Na. Kurasa kamu juga kan. Jadi aku akan keluar dari rumah malam ini. Kamu pasti butuh ruang dan waktu yang leluasa, akupun tak ingin jadi hambatannya."

"Ini rumah kamu, Mas. Biar aku yang keluar," sanggahnya.

"Bagaimana bisa aku membiarkan kamu yang keluar, Na? Aku ingin memastikan kamu dan anak kita baik-baik saja. Kalau disini, aku yakin semua akan baik-baik saja. Jadi kumohon, turuti saja kemauanku."

Aku menghampirinya, merunduk, dan mengecup puncak kepalanya kemudian berlalu. Aku menuju kamar dan mengambil beberapa barang yang kubutuhkan. Kurasa beginilah akhirnya. Akhir dari pernikahanku dan kedatangan kebahagiaan Kenanga.

KENANGA

Dia akan pergi, Kenanga! 

Kamu tahu kan artinya itu? Itu artinya perceraian. Babak baru hidupmu yang terbebas darinya!

Begitu dia pergi, semua akan usai!

Apa kamu siap untuk kehilangan dia?

Semua teriakan itu carut marut di pikiranku. Aku tak siap dengan keputusan apapun mengenai hubungan kami, jadi aku cuma terpaku duduk di tempatku. Kesadaranku baru kembali saat dia sudah turun sambil membawa kopernya. Aku berjalan menghampirinya dan kami saling menatap. Matanya merah, apakah dia menangis selagi berkemas?

"Kenapa secepat ini berkemasnya?" tanyaku sambil memandangi kopernya.

Dia tersenyum, "Aku sudah bilang butuh adaptasi kan? Adaptasi berjauhan denganmu. Aku takut masih nyaman disisimu saat sidang perceraian kita berjalan sangat cepat. Lagipula, aku nggak mau kamu cemberut selama mengandung hanya karena aku di sekitarmu."

Aku tak tahu harus menanggapi apa. Hati dan pikiranku terasa hampa melihatnya seperti ini. Dia kemudian mendekat dan memelukku erat.

"Aku tak menyangka begini akhirnya pernikahaan kita, Na."

Kenapa dia mengatakan hal itu sementara akulah yang menginginkan perceraian ini? Dia hanya menuruti kemauanku setelah berkali-kali aku mengabaikan usahanya meraihku lagi. Aku mengusap punggungnya pelan hingga dia melepasnya.

"Mungkin sesekali aku kesini untuk mengambil sisa barang dan menjenguk anak kita. Boleh kan?"

Aku mengangguk. Mas Risyad kemudian menarik kopernya dan pergi. Jadi beginilah akhir pernikahan kami. Kandas.

***

KENANGA

Semua berjalan seperti biasa. Kesibukan kerja, morning sickness, ngidam, dan segala rutinitas itu. Termasuk rasa hampa di hatiku. Semua sama seperti semenjak Mas Risyad memutuskan mengiyakan permintaan ceraiku dan pergi dari rumah. Dulu dia bilang akan sesekali pulang untuk menyicil mengambil barang atau menjengukku. Pada kenyataannya, dia tak pernah melakukan hal itu. Sama sekali. 

Pemilik HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang