BAB 23

39.4K 3.8K 62
                                    

KENANGA

"Aku lapar, Na" ujar Mas Risyad saat kami sudah separuh perjalanan pulang.

Aku menoleh dan menatapnya, "Mau makan dulu atau makan di rumah?"

"Fast food aja yuk."

Aku melirik jam tanganku, "Udah tengah malam, Mas. Aku perhatikan kamu nih makannya agak ngawur. Nasi padang, nasi goreng, fast food, dan- Hey!"

Mendengarku ngomel dia bukannya berusaha menyangkal atau mengatakan hal yang menenangkan, malam nyosor. Mataku mendelik ke arahnya yang cengengesan sekarang.

"Kamu perhatian juga ya, Na."

Hhhh, ya kan aku istrinya enam tahun ini. Dan lagi, aku kan... Mencintainya. Wajar kan untuk memperhatikan kebiasaan orang yang kita cintai?

"Sekaliiii ini aja, Na. Dispensasi perutku, lapar banget. Tuh Mcd udah dadah-dadah panggil kita."

Mana bisa si patung badut merah itu melambai?

"Tapi bes- Hey!"

Jangan tanya dia ngapain lagi. Ngulang cium! Aku mendesah pasrah akhirnya. Mas Risyad kelihatan senang ketika aku mengijinkannya membelokkan mobil ke Mcd itu. Kami memilih dine-in dan memesan beberapa makanan. Aku nggak begitu lapar, jadi aku cuma memesan kentang goreng dan cola. Tapi Mas Risyad tak suka aku melewatkan makan malam ini, jadilah dia menyuapiku ayam yang dipotongnya.

"Na, kita kan pacaran, tapi jujur saja aku merasa kita kurang terbuka mengenai diri kita ke satu sama lain. Apa kamu merasa seperti itu?"

Kunyahanku terhenti untuk menyimak maksudnya.

"Maksudku, sudah waktunya kita lebih terbuka, Na. Mengenai hal-hal yang ada di kehidupan kita. Mau?"

Kenapa dia tiba-tiba mengatakan ini?

"Aku tahu kita bisa menyelidiki satu sama lain melalui orang sekitar kita atau orang bayaran kita, Na. Hanya saja info dari mereka kan belum tentu benar, Na. Kita coba berkomunikasi secara pribadi. Apapun yang ingin kamu ketahui tentang aku, dan sebaliknya, sebaiknya ditanyakan langsung," sambungnya.

Apa informan Mas Risyad memberi info tidak valid mengenaiku kali ini? Mungkin sih. Tapi kata-katanya barusan memang menohokku. Tersindir pastinya.

"Apa yang Mas Risyad ingin tahu?" tanyaku.

"Hm, banyak. Tapi aku ingin memulai dengan yang ringan dulu. Kenapa kamu menerima perjodohan kita dulu? Aku nggak akan ge'er kamu cinta pada pandangan pertama padaku, Na. Itu bukan kamu banget kan? Pasti ada alasan yang lebih masuk akal."

Aku dan dia sama-sama tertawa.

"Hm, karena aku ingin punya orangtua Mama dan Papa."

Dia menatapku penuh tanya kali ini.

"Dari semua donatur yang datang ke panti asuhan, Papa dan Mama adalah figur yang paling kudambakan sebagai orangtua, Mas. Mereka sangat baik dan perhatian. Saat itu, seminggu sebelum kita bertemu, Mama mendatangiku ke panti dan mengatakan keinginannya mengenalkan kita. Katanya, kenalan aja tapi kalau cocok bisa lanjut."

"Lalu kamu merasa kita cocok?"

Aku menggeleng, "Tentu nggak, Mas. Bahkan aku merasa kita langit dan bumi. Tapi mana mungkin aku menolak kesempatanku memiliki orangtua impianku kan? Apalagi Bu Ningsih juga berkali-kali meyakinkan ini adalah kesempatan bagus membalas jasa orangtua kita kepada panti asuhan. Jadi ya..."

Mas Risyad kembali menyuapiku ayam dan kentang goreng.

"Kenapa mendadak diam? Kecewa sama jawabanku?" godaku.

Pemilik HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang