BAB 43

97.8K 4.9K 147
                                    

KENANGA

Setelah menjelaskan mengenai keputusanku dan Mas Risyad kepada orangtua kami, hatiku terasa lega. Terutama setelah mendapat maaf mereka, seperti melepas ganjalan di hatiku. Hanya saja, ada hal yang tak sesuai dengan perkiraan. Kukira setelah berbaikan, Papa akan membatalkan mutasi Mas Risyad. Dengan alasan untuk memantau hubungan kami dan menjagaku di usia hamilku yang makin menua, Mas Risyad tidak akan dimutasi ke Malang tapi ke Surabaya untuk beberapa bulan ke depan.  Berapa bulan pastinya masih belum diketahui.

Ini pertama kalinya aku dan Mas Risyad akan tinggal bersama orangtua kami, jadi aku sedikit merasa kikuk. Tapi sisi positifnya, aku merasa tenang karena aku tidak sendirian di usia kehamilan sebesar ini. Aku dan Mas Risyad akhirnya menyetujui, paling tidak sampai aku melahirkan ada yang mengawasiku. Apalagi ini kehamilan pertama, aku butuh banyak nasehat Mama juga.

Kehadiran Mas Risyad di Surabaya membawa angin segar ke perusahaan disini dan juga Papa, itu yang kutangkap dari ceritanya. Dia membawa inovasi sendiri saat mendampingi Papa dan Papa merasa sedikit rileks di pekerjaannya. Tapi agak sedih juga, dia seringkali lembur menggantikan meeting yang dialihkan padanya. Belum lagi kalau dia harus menemani Papa bela diri, makin malam pulang, makin kelihatan capek juga. Mas Risyad sama sekali tak mengeluh. Dia bilang dia ingin menebus rasa bersalah pada orangtuanya dengan cara seperti ini.

Aku cuma bisa tersenyum menanggapi keputusannya. Sepertinya Mas Risyad sedikit lebih dewasa daripada dulu deh. Sementara aku, untuk mengimbangi keputusan orangtuaku, aku melepas perusahaan sepatu yang kutangani. Perusahaan itu sekarang dijalankan Diana, entah sampai kapan. Aku senang dengan hal itu, Diana memang cocok menjalankan hal berbau fashion, dia lebih ahli dariku.

Sekarang aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, sesekali mengikuti kegiatan Mama agar tidak bosan. Mama juga tak mengijinkan aku banyak aktivitas karena ukuran perutku yang besar. Mengikuti Mama baksos hari ini cukup mengurangi bosan di rumah, setelahnya aku kembali istirahat di kamar sambil memunggu Mas Risyad pulang. Tapi hari ini sepertinya Mas Risyad juga sibuk. Dia dan Papa belum pulang. Sembari menunggu, aku menulis buku catatan mengenai kehamilanku. Menulis diary kehamilan adalah pe-er yang diberikan Desi setelah kehamilanku masuk trisemester kedua. Meskipun sekarang dia tak bisa lagi menanganiku, kami masih sering bertukar kabar dan dia masih mengontrol catatan yang kufoto untuknya.

Baru saja aku memasukkan kembali diary ke laci sisi tempat tidur, aku mendengar pintu kamar terbuka. Mas Risyad berdiri di daun pintu dan tersenyum lebar. Dia mendekatiku dan mengecup bibirku.

"Kenapa malam sekali?" tanyaku.

"Ada tamu di kantor Papa tadi. Macet juga. Kamu sudah makan? Atau lapar lagi?"

Aku memang gampang lapar sekarang. Lapar yang tak kenal waktu karena bawaan bayi.

Aku menggeleng, "Udah tadi. Masih kenyang."

Dia kemudian menanyakan apa saja yang kulakukan seharian ini, begitupula sebaliknya.

"Na, kapan jadwalmu kontrol hamil lagi? Aku ingin tahu jenis kelamin anak kita."

Aku mengernyit, "Jenis kelamin? Aku udah tahu kok."

"Beneran? Kenapa kamu nggak bilang, Na?"

"Kamu nggak nanya," godaku.

Dia mendengus sembari melonggarkan dasi, "Aku kira memang belum diperiksa. Jadi apa jenis kelaminnya? Pasti perempuan ya?"

Aku tersenyum, "Kamu pengen punya anak perempuan?"

Dia ikut tersenyum lebar, "Tadi sewaktu ngobrol dengan tamu Papa, aku sempat bilang kalau kamu hamil, Na. Dia bilang kalau anaknya jadi perempuan itu bikinnya pakai cinta. Aku nggak tahu sex mana yang berhasil jadi, tapi aku yakin semua kulakukan dengan cinta ke kamu, Na."

Pemilik HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang