BAB 2

56.2K 5.7K 71
                                    

RISYAD

Aku melihat ke Patek Philippe di pergelangan tanganku entah untuk keberapa kalinya. Gerakan itu kemudian diikuti dongakan mengecek arah pintu masuk. Kemana dia? Aku yakin sudah mengirimkan alamat dan jam dimana Kenanga harus muncul dan menemaniku sekarang, tapi kenapa belum kelihatan? Sebenarnya aku tak terlalu suka melibatkan Kenanga di pertemuan bisnis seperti ini. Aku tahu betapa gatalnya mulut para rekanan dan media menguliti soal kehidupan pribadi kami dan aku tahu Kenanga tidak nyaman menghadapinya. Hanya saja image bahwa rumah tangga kami baik-baik saja harus ditampilkan dengan sesekali muncul bersama seperti ini.

Setelah kulirik jam sekali lagi, Kenanga muncul. Wanita itu berpenampilan anggun dalam balutan gaun hitam dan make up yang membuatnya makin bersinar. Senyum yang diikuti lesung pipi dari kedua sisi itu ekstra yang sempurna. Tatapan kami bertemu kemudian Kenanga menghampiriku.

"Makin cantik aja kamu, Kenang" puji Bu Indrawan, istri penyelenggara acara malam ini yang berdiri di dekatku.

Kenanga tersenyum, "Terimakasih Bu."

Sulit menyembunyikan kecantikan wanita itu memang. Aku lelaki normal dan mengakui kalau Kenanga memang memesona. Tanpa disuruh, sama seperti biasanya saat dia menemaniku ke acara seperti ini, dia akan menempeli aku untuk menyapa rekanan-rekanan kami. Menyapa dan berbasa-basi mengenai usaha kami masing-masing memang harus dilakukan disini. 

"Ris," sapa seseorang yang membuatku dan beberapa orang di sekitar menoleh.

"Selamat ulangtahun, Pak" ucapku sembari memeluk Pak Indrawan yang barusan menyapaku.

Pak Indrawan adalah salah satu pengusaha sukses dan teman lama orangtuaku. Kalau saja tidak terhalang kesibukan mengurus usaha di Surabaya, Papa dan Mama pasti juga menghadiri acara malam ini. Tak hanya aku, Kenanga dan semua orang disitu mengucapkan selamat ulang tahun ketujuh puluh tahun untuk pria sepuh itu.

"Ris, aku boleh ajak dansa Kenang? Sudah lama aku tak ketemu kekasih hatiku yang cantik ini," ujar Pak Indrawan yang diikuti tawa istrinya dan Kenanga.

Aku menatap Bu Indrawan yang terlihat santai kemudian kepada Kenanga yang nampak tak keberatan. Selanjutnya Pak Indrawan membawa Kenanga berdansa bersama pasangan lainnya. Pak Indrawan memang sedari dulu mengagumi banyak wanita cantik, makanya sering menggoda mereka seperti itu. Tapi tak ada itikat buruk, kepada Kenanga godaan itu hanya seperti candaan orangtua kepada anaknya. Baik aku dan Kenanga pun sudah paham, jadi kami bisa menerima perhatian itu. Toh, Pak Indrawan kalau berani macam-macam bisa kulumpuhkan dengan cepat, dia berada di usia yang tak bisa melawan kalau disakiti olehku yang berolahraga rutin boxing dan muay thai.

"Aku bahkan sudah tidak bisa cemburu melihat kelakuannya. Dia selalu mengatakan mengagumi Kenang," ujar Bu Indrawan kepadaku.

"Kenanga menganggapnya seperti Papa, Bu."

"Tentu saja. Kamu memang beruntung punya Kenanga. Dia perhatian dan juga cantik," puji Bu Indrawan lagi.

Ya kecantikan Kenanga sekarang memang jauh berbeda dari dulu saat pertama kali kami bertemu. Meskipun cukup manis karena lesung pipi yang dalam, Kenanga memang kelihatan tak begitu memperhatikan penampilannya dulu. Perubahan Kenanga terjadi karena campur tangan adikku Diana. Dia membawa Kenanga merawat diri ke salon secara rutin dan mengajarkan Kenanga mengenai fashion. Tidak sia-sia, Kenanga yang sekarang memang berkilau dan membuat orang lain memujiku beruntung memilikinya. 

"Kamu nggak ada rencana punya anak sama Kenanga memang, Ris? Belum ada penerus lagi di keluargamu," tepukan ringan di lenganku membuyarkan lamunan sesaat tadi.

"Aku yakin, orangtuamu juga berharap kamu segera beranak pinak. Enam tahun menikah masa tidak ada tanda-tandanya punya anak. Mumpung kalian masih muda, bikinlah beberapa anak," sambung Bu Indrawan.

Aku cuma tersenyum kecil menanggapi topik itu. Bagaimana bisa hamil jika tidak pernah mengusahakan punya? Selama enam tahun bersama, kegiatan tidur bersama memang sering kami lakukan. Hanya saja, kebanyakan tidak ada hubungannya dengan kegiatan yang bisa menghasilkan anak. Sebenarnya pernah. Hanya sekali terjadi, dan hingga saat ini aku mengutuki kejadian itu.

"Mungkin Diana bisa mendahului, Bu."

Aku memilih menyambar nama adikku untuk menghindari topik pembicaraan ini.

"Aku ragu Diana akan menikah. Dia masih suka dengan hidupnya sendiri. Adikmu itu bukan tipe yang betah dan telaten seperti Kenanga."

Wajar saja Bu Indrawan berpikir demikian, pemikiran itupun sama bagi kebanyakan orang. Diana seumuran dengan Kenanga, tapi dia masih suka bekerja, menghadiri fashion show, dan menghadiri banyak pesta menyenangkan. Tak ada tanda-tanda dia ingin melepas masa lajangnya.

"Sebentar lagi juga akan menikah, Bu. Ibu tahu kan umur tiga puluh itu umur maksimal saya dan Diana bebas?"

Aku menyinggung soal batas usia bebas yang diberikan orangtua kami untuk kami melajang.

"Tentu. Gunawan pasti akan menjodohkan Diana segera. Oh ya, bagaimana kalau dengan anakku saja?"

Aku terkekeh namun dalam hati tak setuju. Krisna, anak keluarga Indrawan, terlalu berbahaya. Playboy yang belum tobat.

"Ah, tapi susah juga punya menantu seperti Diana. Aku pasti kewalahan mendidiknya." Aku terkekeh mendengar timpalan Bu Indrawan barusan. Kurasa memang ide buruk menjodohkan dua orang itu.

"Kenanga itu hebat Ris karena bisa adaptasi sama lingkungan kita ini. Jujur saja dulu kupikir dia akan meminta cerai darimu tak lama setelah kalian menikah. Dari gadis yatim piatu di panti tiba-tiba jadi menantu keluargamu. Aku yakin dia kaget-kaget menghadapi dunia barunya. Tapi siapa sangka dia masih bertahan saja. Aku salut dengannya," ujar Bu Indrawan yang entah kenapa terasa sedikit menyinggungku.

Dari kejauhan aku menatap wanita itu. Dia terlihat fokus mendengarkan Pak Indrawan dan sesekali tertawa. Kenanga memang selalu seperti itu, mudah tersenyum dan tertawa saat di sekitar orang lain, bahkan orang lain. Garis bawahi, dengan siapapun kecuali saat bersamaku. Saat hanya ada kami berdua, biasanya suasana akan kikuk dan tidak nyaman. Ah, aku tidak suka merasa bersalah seperti ini. 

Untungnya pembicaraan itu usai saat Kenanga kembali. Dia nampak lelah berdansa cukup lama. Melihat hal itu aku menyodorkan segelas fruit punch untuk mengusir dahaga yang diterima Kenanga.

"Sudah kuduga, setelah Kenanga pasti dia mengincar Risa," cibir Bu Indrawan ketika suaminya sudah beralih dansa dengan wanita muda lainnya.

Kenanga dan aku tersenyum melihat Bu Indrawan yang nampak menyerah menghadapi suaminya.

"Bapak bilang apa aja? Kamu dirayu?" tanyaku ketika Bu Indrawan berlalu.

Kenanga mengangguk, "Sudah biasa."

Aku tersenyum seolah memahami isi pembicaraan Pak Indrawan dan Kenanga. Tak lama kemudian pesta usai. Bersama dengan para undangan lainnya, aku dan Kenanga bersiap meninggalkan tempat acara.

"Seharusnya Mas tadi kasih tahu aku kalau ini undangan ulangtahun Pak Indrawan. Aku tidak tahu jadi tidak menyiapkan kado," ujar Kenanga saat kami keluar beriringan.

"Kamu mau berdansa dengannya saja dia senang, Na. Lagian aku sudah menyiapkan hadiah, itu cukup."

Kenanga tersenyum kecil dan kembali mengikuti langkahku keluar dari gedung.

"Kamu nggak pulang sama aku aja, Na?"

Kami berhenti di lobi dan menantikan mobil datang.

Kenanga menggeleng, "Aku harus kembali ke kantor, Mas."

"Mengurus brand baru?"

Aku sudah mendengar kabar itu dari beberapa orangku.

"Ya, Mas."

"Aku sudah dengar berita line baru itu. Selamat, Na."

Kenanga tersenyum kemudian berlalu menuju mobilnya sendiri yang datang terlebih dahulu. 

"Na," panggilku tepat sebelum dia masuk ke mobil.

Panggilan itu membuatnya berhenti dan menoleh.

"Hati-hati."

Kenanga cuma membalas dengan senyuman kecil. Mobilnya kemudian bergerak menjauh meninggalkan gedung ini.

Kenanga memang sudah berubah dari enam tahun lalu. 

***

Pemilik HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang