RISYAD
Kenanga masih memelukku beberapa saat hingga isak tangisnya mereda.
"Pulanglah, Mas."
"Ya nanti setelah kamu berhenti menangis, aku akan pulang."
"Bukan itu. Pulanglah ke sini. Rumah kita."
Tanganku yang sedang mengusap punggungnya seketika kaku. Dia kemudian menarik diri dan menatapku.
"Pulang ke sini," ujarnya lagi.
"Na, kamu suruh aku pulang kesini? Ke rumah ini?"
"Kenapa? Kamu nggak mau pulang? Lebih suka tinggal jauh dariku?"
"Bukan begitu. Aku... Aku mengikuti permintaanmu, Na. Kalau kamu ingin bercerai maka kita harus pisah rumah. Kalau kamu mau aku pulang itu berarti..."
Dia menggeleng, "Aku nggak mau bercerai."
Aku ingin sekali memeluknya dan menciumnya sekarang karena dia mengatakan hal paling membuatku bahagia. Tapi aku memilih tak melakukannya. Aku tetap diam dan mencoba membaca suasana.
"Aku nggak mau membesarkan anak kita sendirian. Aku nggak mau berhenti jadi menantu keluarga Gunawan. Aku nggak suka dengar lagu lawas sendirian. Aku nggak suka melamun membayangkan kamu disekitarku. Aku benci melihat matamu merah karena menangis seusai kita bertengkar. Aku nggak suka. Nggak suka semuanya!"
"Na, aku-"
"Aku nggak suka kamu bohong! Aku nggak suka ada wanita lain selain aku! Aku nggak suka, Mas!"
Astaga, kenapa Kenanga jadi menggemaskan sekali sih?
"Iya, Na. Aku yang salah. Memang benar kata Mama aku egois dan nggak dewasa karena keputusanku. Aku memang pantas kamu benci untuk semua," aku mengusap air matanya lagi.
"Aku cuma mau memberi kesempatan kedua untuk kita. Cuma kita. Kesempatan terakhirmu. Kalau semua kamu sia-siakan, aku nggak tahu apalagi yang kumiliki," ujarnya.
Dia kemudian mengusap air matanya dengan kasar sementara aku masih mengamatinya. Tanpa bisa kutahan air mataku meleleh. Kenanga selalu bisa membuatku cengeng.
"Kenapa kamu diam aja? Kalau kamu nggak suka, kamu bisa pergi."
"Kata siapa aku nggak suka? Susah sekali untuk bisa dimaafkan kenapa aku harus nggak suka?" timpalku sambil menahan senyum dan mengusap air mata.
Dia menatapku dengan kernyitan di alis, "Kamu menangis lagi? Badanmu segede ini kenapa mudah sekali menangis sih?"
"Aku hanya menangis karena satu hal, Na. Mengenai kamu. Bahkan dipukul Papa tidak pernah sesakit saat bertengkar denganmu," jawabku.
Kedua tangannya menangkup wajahku dan jarinya menelusuri pipiku yang sedikit basah.
"Kamu jelek kalau menangis, Mas. Makin jelek karena lebam ini," ujarnya sambil mengusapku lembut.
"Aku nggak apa-apa." Aku meringis karena belaian di atas lebamku.
"Kamu juga kurusan." Dia menyentuh dua lenganku.
"Kamu sukses bikin aku kehilangan lima kilogram dalam waktu sebulan, Na."
Kami saling mengusap pipi yang masih agak basah dan tersenyum kecil.
"Kamu seharusnya memaksaku sampai aku menyerah menceraikanmu," ujarnya.
Aku menggeleng, "Kita bertengkar beberapa hari saja kamu sudah drop. Aku nggak akan segila itu memaksa kamu lagi. Aku nggak sanggup melihat kamu sakit atau cemberut seumur hidup setelah tahu kamu hamil dan menderita. Meskipun aku terluka aku akan memilih menuruti maumu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pemilik Hati
RomanceKenanga dan Risyad tahu bahwa pernikahan mereka adalah mengenai kebahagiaan orangtua mereka. Bukan cuma mengenai balas budi, tapi juga menyelesaikan tugas sebagai anak yang sudah habis masa bebasnya. Ketika keduanya memilih tinggal dalam ikatan pern...