BAB 12

46K 4.6K 85
                                    

RISYAD

Pameran furniture yang setiap tahun salah satu perusahaan kami adakan akan diadakan beberapa minggu lagi. Sama saja seperti tahun lalu, kami harus menyiapkan desain-desain terbaik dan meletakkannya di  museum perusahaan untuk ditilik para peminatnya selama sebulan. Acara puncak akan diadakan dengan megah dalam minggu depan, lagi-lagi seperti biasanya. Ini akan menjadi minggu-minggu yang sibuk untukku. 

Di tengah kesibukanku ini, Mama sempat-sempatnya menerorku melalui pesan dan telepon. Teror itu bukan mengenai pekerjaan, tapi mengenai mengajak Kenanga pulang ke Surabaya. Ide ini berawal dari aku yang berusaha menghindarkan kemauan Mama untuk meminta cucu dariku dan Kenanga. Ya kejadian beberapa minggu lalu saat mereka datang ke Jakarta dan menginap di rumah kami itu. Saat itu aku kasihan dengan Kenanga yang kelihatan stress karena permintaan Mama, jadilah aku bicara kepada Mama dan memberi pengertian bahwa kami belum siap memiliki anak.

"Mau nyiapin apa lagi sih, Ris? Uang banyak. Rumah banyak. Tinggal kamu usaha lebih sering mesra-mesraan aja."

Astaga. Aku bahkan sempat kehilangan kata-kata saat itu.

"Please Ma, kasihan Kenanga. Mama jangan tekan lagi dia ya. Risyad janji akan sebisa mungkin lebih sering menghabiskan waktu dengan Kenanga. Hanya saja Mama jangan mene-"

"Sering berduaan kalau nggak ngapa-ngapain ya sia-sia. Gini aja, setelah acara pameran tahunan perusahaan selesai, kamu ajak Kenanga pulang ke Surabaya. Kalian harus liburan bareng di rumah kita disana."

Sebelumnya aku memang tak begitu suka pulang ke Surabaya. Pulang ke Surabaya berarti melempar diri ke kubangan pertanyaan seputar pernikahan kami setiap  detik. Dan itu berarti menuntutku dan Kenanga untuk membohongi orangtua kami. Sungguh melelahkan untuk berpura-pura sebagai suami istri yang normal di depan orangtuaku. Malah sekarang kegiatan pulang ke Surabaya akan dilatarbelakangi modus untuk diawasi dan didikte soal punya anak. Ya meskipun Mama tidak mengatakannya secara terus terang, aku tahu kalau kami akan dicuci otak  mengenai pentingnya punya anak.

Ini sudah pesan ketiga yang kuterima hari ini yang isinya perintah Mama agar mengingatkan Kenanga soal rencana kepulangan kami ke Surabaya. Sayangnya, aku belum mengatakan apapun pada Kenanga. Aku sengaja melakukannya karena mengira Mama akan melupakan ide itu. Aku lupa, Mama punya ingatan yang masih terlalu bagus.

Sekarang aku jadi enggan mengatakan rencana itu pada Kenanga. Hubunganku dan dia sedang tak begitu baik. Akhir-akhir ini dia sedikit susah dimengerti dan suka sekali mendebat perkataanku. Entah apa penyebab pastinya dia jadi seperti itu. Mungkin karena marah soal Fela atau... Shit, aku paling benci dugaan ini. Mungkin karena kehadiran Panji.

Soal hubungan Kenanga dan Panji, aku sempat mencari informasi ke Diana. Itu karena Hendy bilang, Panji adalah teman Diana. 

"Aku nggak begitu dekat dengannya, Mas. Kami hanya sempat berkolaborasi untuk beberapa job. Jadi kalau dibilang teman ya bisa iya bisa tidak," ujarnya waktu itu.

"Dia... Dekat dengan Kenanga?"

Diana terdiam dan mengamati wajahku sesaat, "Entahlah. Hanya saja aku tahu beberapa kali mereka ngobrol cukup akrab. Bahkan kudengar Panji yang menolongnya keluar dari pesta Pak Ismail kan?"

"Ngobrol cukup akrab itu yang bagaimana?"

Diana tergelak pelan, "Kamu sedang cemburu? Itu yang membuatmu uring-uringan akhir-akhir ini? Astaga, kamu nggak bisa marah ke Kenang dan membawa amarahmu ke kantorku? Hebat."

"Aku nggak cemburu!" Astaga, logika apa itu.

"Nggak cemburu tapi menanyakan semua hal soal pria yang ngobrol akrab dengan Kenanga?" godanya.

Pemilik HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang