KENANGA
"Kalau kamu nggak bisa mempercayai dia, sebaiknya tidak usah dipaksakan. Setiap manusia punya batasan untuk semua emosi, termasuk kesabaran dan kepercayaan. Kalaupun Risyad tidak ada di batasan yang bisa kamu maklumi, kamu berhak kecewa dan melepaskan dia. Semua keputusan ada di tanganmu."
Itu secuil kata-kata Mama yang membuatku merenung, apa yang kuinginkan sekarang?
Perceraian? Dulu perceraian kuabaikan dengan alasan tak ingin melukai hati orangtua kami. Tapi sekarang mereka sudah memberikan lampu hijau untukku menceraikan Mas Risyad, seharusnya ini sudah cukup meyakinkanku untuk mengajukan perceraian kan?
Anak? Ya aku memang mengandung anaknya. Lalu kenapa? Toh Mas Risyad juga belum tahu. Setelah bercerai, aku bisa langsung terbang ke luar negeri dan tinggal disana bersama anakku. Uang bukan kendala. Lagipula meskipun mengetahui aku hamil, apakah Mas Risyad akan bahagia? Sebahagia ketika dia memiliki kesempatan berlari kembali ke mantannya itu?
Tapi tadi pagi dia mengatakan mencintaiku. Sorot matanya terlihat tulus ketika mengatakannya. Tapi apakah terbukti ketulusannya ketika dia masih saja merahasiakan hal yang mengantarkan kami di gerbang perpisahan?
"Risyad meminta Mama dan Papa membantu kalian baikan. Tapi kami sepakat hanya akan membantu kalian memiliki ruang dan waktu sendiri untuk membicarakan rumah tangga kalian. Selama kalian sekamar, manfaatkan itu Kenang. Cari tahu apa keinginan kamu dari pernikahan ini."
Ada benarnya juga, mungkin hanya aku yang tak memanfaatkan kesempatan itu. Mas Risyad jelas memanfaatkan waktu itu untuk mendekatiku lagi, merayu habis-habisan dengan mengulang atau mengingatkan hal-hal yang pernah kami lakukan bersama. Seharusnya aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu juga. Aku juga bisa lekas mengucapkan perpisahan dengan Mas Risyad. Hanya saja, perpisahan tidaklah semudah itu. Aku mencintai pria itu. Rasanya berat sekali untuk berpisah.
"Na, kamu dapat salam tuh dari Barata. Katanya Alex suka sekali sama kado yang kamu kasih," celoteh Mas Risyad sembari sibuk beriwa-riwi di dalam kamar.
Mas Risyad baru saja pulang kantor. Dia kesana kemari sembari melepas pakaiannya dan mengajakku ngobrol. Sementara aku duduk di sofa dan menonton televisi sambil mencuri-curi lirik untuk mengetahui apa yang sedang dia lakukan. Tak lama terdengar gemericik shower menandakan dia mandi. Sekitar lima belas menit kemudian, dia keluar dengan sudah menggunakan piyamanya dan rambutnya masih sedikit basah karena sisa air keramas. Lagi-lagi aku mengetahuinya karena mencuri pandang.
"Na," panggilnya.
"Ya?"
"Kamu nonton film apa?"
"Bombshell," jawabku.
Meskipun tak begitu konsen menontonnya, untung aku masih tahu judulnya.
"Bombshell? Yakin itu judulnya? Bukan Risyad Ardi Gunawan?"
Itu pertanyaan dengan nada datar tapi terasa seperti godaan di telingaku.
"Dari tadi kamu lebih sering nonton aku ketimbang Margot Robbie. Eh, curi-curi lihat," sambung Mas Risyad diikuti tawa.
Aku buru-buru memalingkan wajah sebelum dia tahu kegugupanku saat ini.
"Ada yang perlu kamu bicarakan?" tanya Mas Risyad sembari duduk di sebelahku.
Aku memberanikan diri menatapnya namun diam.
"Ada apa, Na? Katakan saja."
Bagaimana cara mengatakannya?
Mas, aku akan menceraikanmu.
Gitu?
Atau gimana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pemilik Hati
RomanceKenanga dan Risyad tahu bahwa pernikahan mereka adalah mengenai kebahagiaan orangtua mereka. Bukan cuma mengenai balas budi, tapi juga menyelesaikan tugas sebagai anak yang sudah habis masa bebasnya. Ketika keduanya memilih tinggal dalam ikatan pern...