BAB 16

43.1K 4.5K 121
                                    

RISYAD

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Seharusnya Kenanga sudah landing kembali di Surabaya saat ini. Aku memang memintanya pulang dengan penerbangan sore karena tidak ingin dia lama-lama di Bandung. Bayangan dia harus berada di tempat yang sama dengan Panji terlalu lama membuat mood-ku anjlok. Tapi sayangnya Kenanga tidak akan landing dengan penerbangan itu karena dia memang tidak menumpangi maskapainya.

Aku tadi menelpon Hendy untuk tahu apa yang dilakukan Kenanga seharian disana. Menanyakannya langsung pada Kenanga bisa jadi sangat canggung untuk kami, kami tidak pernah melakukan basa-basi serupa saat berjauhan. Jadi aku memutuskan bertanya pada Hendy. Termasuk soal kepulangan Kenanga. Dan ya, Kenanga tidak ke bandara, bahkan tidak keluar dari area resort hotel tempatnya pemotretan.

Cuaca di Bandung sedang buruk, hujan sedari tadi siang dan hingga kini belum reda. Bahkan banyak pohon tumbang di area menuju ke resort itu. Kata Hendy, tadi Kenanga masih berniat mau menuju bandara tapi harus putar balik karena informasi mobil tidak bisa melintas di jalanan yang tertutup pohon tumbang. 

"Semua tim akan menginap di satu cottage, Pak."

Kalimat Hendy itulah yang membuatku memutuskan untuk menyusul Kenanga. Sebenarnya skenario andai-andai Kenanga tidak bisa pulang memang melintas di otakku. Untuk itulah tanpa sepengetahuan Kenanga aku diam-diam membeli tiket penerbangan komersil menuju Bandung jauh-jauh hari. Niat untuk berjaga-jaga saja ternyata berguna. Aku akan menjemput Kenanga malam ini, atau bermalam disana sekalian.

Penerbangan itu untuk kelas ekonomi dengan jadwal paling malam. Penerbangan komersil tentu tidak akan nyaman, tapi aku bisa menahan menekuk kaki panjangku selama beberapa puluh menit ketimbang khawatir karena Kenanga saat tak berada di sekitarku.

"Tolong jangan kasih tahu, Kenanga," pesanku kepada orangtuaku sebelum berangkat ke bandara.

"Tapi kamu lagi sakit, Ris" ujar Mama khawatir.

"Risyad sudah baikan, Ma. Bandung deket," bantahku.

Mereka pun menurut. Sebenarnya tak perlu khawatir mereka melapor pada Kenanga, karena handphone-nya memang sulit dihubungi. Resort itu memang tak bersahabat dengan sinyal provider di cuaca buruk ini. Komunikasiku dengan Hendy saja bisa nyambung kalau dia sudah di area yang kebetulan bisa menangkap satu atau dua garis sinyal. 

Selama perjalanan ke Bandung, aku masih berusaha menjaga komunikasi dengan Hendy. Dia harus mengawasi Kenanga sampai aku tiba disana. Aku bisa mengabaikan kakiku yang sakit selama di pesawat atau badanku yang masih belum fit, tapi tidak akan bisa membiarkan kalau sampai dia berlama-lama dengan Panji disana.

KENANGA

Hujan lebat mengguyur kawasan resort sedari siang tadi hingga saat ini. Aku jelas ketinggalan pesawat dan memutuskan menyetujui usulan Diana untuk menginap disini bersama dengan tim kami. Satu buah cottage dengan tiga kamar disewa untuk malam ini. Saat nyaris tengah malam hujan akhirnya reda dan menyisakan gerimis kecil. Suasana asri resort akhirnya dihiasi bunyi katak yang berlomba bernyanyi.

"Hawanya dingin, Mbak. Kenapa berdiri di balkon seperti itu?" 

Aku menoleh dan mendapati Panji berjalan ke arahku dengan senyum lebar. Dia kemudian berdiri di sisiku dan ikut menikmati hamparan kegelapan hutan di depan kami.

"Sedang berusaha cari sinyal. Aku belum kasih kabar keluarga kalau nggak bisa pulang. Semua lagi di Surabaya," ujarku sembari kembali menatap layar handphoneku yang tidak mendapat sinyal.

"Sama. Handphone-ku juga lagi nggak ada sinyal. Mungkin ini maksudnya biar kita piknik beneran. Bukannya sedikit menyenangkan bisa terbebas dari telepon seputar pekerjaan atau chat masalah keluarga?"

Pemilik HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang