BAB 14

44.2K 4.5K 123
                                    

KENANGA

Semenjak kedatangan Mas Risyad ke kantor siang itu, aku tak lagi pernah menjumpainya. Aku sempat curiga dia sedang berpesta diluar rumah, tapi ternyata aku salah. Diana memberitahuku kalau Mas Risyad sedang sibuk mempersiapkan pameran.

"Tahun ini kali pertama aku membantu Mas Risyad mempersiapkan pameran furnitur, Kenang. Ternyata banyak hal yang harus disiapkan. Kami jadi sering lembur dan pulang lewat tengah malam," ujarnya.

"Oh ya?"     

"Ya. Kamu tahu kenapa aku memberitahumu soal ini?"

Aku menggidik sembari terus menatapnya melalui layar handphone, kami sedang ngobrol via video call.

"Satu, karena aku ingin meminta pengertianmu. Aku tidak bisa fokus menangani brand barumu beberapa minggu ini, ya sampai pameran usailah. Papa memintaku membantu meng-handle banyak hal. Bahkan kemungkinan timeline pemotretan bisa mundur."

"Oke aku bisa mengerti, Di. Kamu fokus saja kesana dulu. Yang brand baru aku akan urus, lagipula sudah nyaris selesai semua kan," ujarku menenangkan.

"Yang kedua, Kenang. Kayaknya kamu harus banyak perhatikan Mas Risyad. Dia benar-benar kelelahan dan kelihatan butuh kasih sayang."

Diana tertawa kencang setelah mengatakan hal itu sementara aku cuma bisa memutar bola mata.

"Hei, kamu jangan begitu. Sebagai istri yang baik, sepatutnya kamu memperhatikannya. Ini juga kesempatan kamu membuatnya menyadari kamu perhatian padanya, Kenang. Kali ini aku menjamin tidak ada wanita lain yang memperhatikannya, kurasa kamu harus mengambil peran itu," sambungnya.

"Belum ketahuan saja mungkin. Lagipula aku nggak yakin tidak ada yang memperhatikan dia, Di. Itu Mas Risyad, kalau-kalau kamu lupa."

"Kamu benar-benar punya kecenderungan mematahkan firasat baik ya, Kenang. Terserah kamu saja mau ambil kesempatan ini atau nggak. Aku cuma menginfo saja," dia mengerling genit.

Tak lama Diana mengakhiri panggilan itu. Sudah tidak ada pembicaraan mengenai Mas Risyad, tapi entah kenapa aku jadi kepikiran. Apa benar dia sampai selelah itu? Mungkin benar karena memang aku jadi makin jarang melihatnya di rumah. Tapi bisa juga salah karena itu perkataan Diana. Dia itu salah satu orang yang nggak bisa benar-benar kupercaya kalau mengatakan hal-hal positif soal Mas Risyad. Ya apa mau dikata, itu kakaknya kan.

Untuk memuaskan rasa penasaranku, aku mengambil handphone dan menekan panggilan ke nomernya. Dering sekali, dua kali, tiga kali. Tidak dijawab. Baru saja aku akan meletakkan lagi handphoneku tiba-tiba berdering.

"Ha-"

"Na, kamu menelponku?" potong Mas Risyad saat aku berniat menyapanya.

"Iya, Mas."

"Ada apa, Na? Kamu membutuhkan sesuatu?"

Aku memaksa otakku bekerja keras untuk menemukan alasan yang tepat untuk menghubunginya, tapi tak kunjung menemukannya.

"Lupa, Mas."

Dia tertawa mendengar jawabanku. Suara tawanya selalu enak di telingaku.

"Baiklah. Kamu bisa mengatakannya kalau sudah ingat. Kamu lagi dimana? Sudah makan?"

"Kantor."

"Aku sedang bawa mobil sendiri dan kelaparan. Mau menemaniku makan siang?"

Tidak akan kutolak. Takutnya tidak akan ada kesempatan lain lagi.

"Boleh."

"Lima menit lagi turunlah, Na. Aku tunggu di lobby kantormu ya."

Tidak ada lima menit lagi. Begitu panggilan diakhiri, aku langsung menyemprot parfum tambahan dan menarik tasku. Aku lebih suka selama lima menit menunggunya di lobby daripada disini.

Pemilik HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang