BAB 22

41.2K 3.7K 37
                                    

KENANGA

Aku dan Mas Risyad nyaris saja terlambat datang ke acara peluncuran brand baru sepatuku. Astaga dia benar-benar mengerjaiku sepanjang hari. Ya memang sih mengerjainya itu menyenangkan, ya mana ada bermesraan yang tidak menyenangkan sih? Hanya saja aku mulai uring-uringan ketika dia menjadi sulit diajak berkompromi. Dia tidak mengijinkanku mandi dan berangkat lebih awal ke venue dengan alasan tidak boleh menekan bawahan lah, terlalu perfeksionis, dan... Hm, dia masih ingin berduaan denganku. Not fair.

Dia akhirnya mau melepasku setelah kami membicarakan satu topik yang tidak kusangka-sangka akan dibahasnya. Eh, ini lebih soal permintaannya yang sulit kutolak.

"Gimana kalau mulai sekarang kita tinggal sekamar, Na?"

Percaya atau tidak, dia mengatakannya saat aku masih dikekepi.

"Sekamar?"

"Iya. Aku akan membawa sebagian bajuku kesini dan beberapa keperluan sehari-hariku. Jadi kita punya lebih banyak waktu bareng."

Kedengarannya sangat indah kan? Maka kepalaku mengangguk begitu saja. 

Setelah itu maka aku bisa tenang bersiap ke acara launching. Malam itu aku menggunakan gaun yang disiapkan Diana, ya dia lagi dia lagi. Tapi Diana memang mahir menyulap itik buruk rupa sepertiku menjadi gadis pesta semalam. Ya aku tak akan mimpi menjadi putri atau ratu, karena bagiku aku nggak semenarik itu. 

"Gorgeous," ujar Mas Risyad ketika aku sudah mengenakan gaun berwarna cappucino itu.

"Gombal," balasku.

Dia terkekeh dan menyerahkan dasinya yang berwarna sama seperti gaunku, "Pasangkan."

Aku bangkit dari kursi riasku dan memasangkan simpul itu dengan serapi mungkin. Selagi aku berkonsentrasi memasang dasi, tangan Mas Risyad malah menarik pinggangku merapat. 

"Mas," tanyaku sembari sekilas melirik matanya yang berada di atasku.

"Hm?"

"Boleh aku tanya sesuatu?"

"Silahkan."

Aku menghembuskan nafas pelan dan mendongak, "Apa yang Mas Risyad lihat dariku? Aku nggak seperti pacar-pa-"

"Na," potongnya.

Aku kembali menunduk dan menatap simpul yang kubuat.

"Kamu memang nggak seperti siapapun. Kamu ya kamu. Kenapa kamu membandingkan dirimu dengan wanita lain?"

Simpulnya selesai. Aku mengambil satu langkah mundur dan tersenyum kecil, "Maaf."

"Hei, tunggu."

Tangannya mencekal pergelangan tanganku saat aku nyaris berbalik.

"Sini deh," dia memaksaku kembali ke hadapannya dan mempertemukan tatapan kami.

"Na, aku memang nggak pernah berurusan dengan wanita yang biasa aja. Ya, benar. Jadi kalau aku sekarang menginginkan hubungan spesial bukannya itu berarti kamu nggak biasa aja? Kalau aku maksa kamu selalu memperhatikan aku, bukannya itu berarti kamu nggak biasa aja? Dan kalau aku maksa kamu mau memberiku kesempatan untuk memenangkan hubungan spesial kita ini, apa itu artinya kamu biasa saja?"

Aku mendapati kesungguhan di matanya. Sejuk sekali.

"Come on, Na. Lihat aku sebagai aku yang sekarang. Aku tahu menghapus ingatanmu mengenai aku yang dulu nggak mudah. I know. Tapi gimana aku mau menunjukkan kalau aku berubah sementara masih ada selumbar penilaian mengenai aku yang dulu? Asal kamu tahu Na, setiap kamu mempertanyakan alasan kenapa aku sekarang mendekatimu, bagiku itu bukan karena kamu yang insecure sama diri kamu. No. Bagiku kamu memang nggak yakin denganku. Bener gak?"

Pemilik HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang