BAB 41

46K 4.6K 265
                                    

RISYAD

Berkemas. Lagi-lagi aku melakukannya. Rasanya baru beberapa hari lalu aku berkemas dari rumahku dan pindah kesini. Kali ini aku sudah berkemas lagi. Padahal barangku di rumah belum sempat kuambil semua, aku sudah harus pindah lagi.

Belum sempat? Bohong. Aku hanya tak ingin melakukannya. Walaupun sebelumnya aku sudah bilang pada Kenanga akan kembali ke rumah kami untuk mengambil sisa pakaian dan barangku, tapi aku tak pernah melakukannya. Pada saat itu aku ingin menjadikan itu alasan kami bertemu, tapi kuurungkan niatku ketika memikirkan kemungkinan ketidaknyamanannya. Aku tak akan melukai dia dengan kedatanganku.

"Jadi?" tanya Diana saat membuka pintu kamarku.

Aku mendongak dan berdecak, "Kalau mau masuk, ketuk pintu dulu. Sopan santun, Di."

Dia mendengus, menutup kembali pintu, mengetuk, dan membuka.

"Puas?"

Dasar adikku ini. Dia melakukannya hanya untuk membuatku sebal.

"Jadi?" Diana duduk di samping koperku yang terbuka di atas kasur dan mengulang pertanyaan yang sama.

Aku mengangguk.

"Aku kira menghajar Mas Risyad sampai terbaring di tempat tidur selama tiga hari sudah cukup buat Papa menghukum kamu. Eh malah masih ditambah mau dibuang dari perusahaan pusat," ujarnya.

Ya, beberapa hari lalu aku pulang ke Surabaya untuk memberitahu keputusanku menerima gugatan cerai Kenanga. Hasilnya aku dihajar Papa dengan aneka jurus judo dan karate yang membuat badanku ambruk selama tiga hari. Semenjak keluar dari rumah, aku memang jarang makan dan lebih memperbanyak aktivitas fisik. Entah karena lemah atau rasa bersalah, aku tak mampu menahan serangan Papa dan berakhir menerima banyak lebam.

"Kenapa harus pakai kata dibuang sih, Di?"

Dia tertawa dan memasukkan satu bajuku ke koper, "Ngomong-ngomong aku barusan makan dengan Kenanga."

Gerakan tanganku langsung terhenti dan mataku menatap Diana.

"Dia baik-baik saja?" tanyaku.

"Orang suruhanmu tidak mengatakan apapun?"

Aku mendorong koperku menjauh dan duduk di samping Diana, "Aku sudah berhenti mencari informasi dari Hendy. Kenanga nggak menyukainya. Jadi ya, aku nggak ada akses."

"Kamu berhenti menyelidiki karena Kenanga nggak suka, menyetujui perceraian karena gak ingin Kenanga menderita, nggak menolak mutasi ke Malang karena gak ingin Papa dan Mama menekan Kenanga soal perceraian kalian. Poros hidupmu memang cuma Kenanga aja. Sayang semua akan berakhir."

Aku memaksa diriku tersenyum kecil, "Semua berubah dengan cepat, Di. Soal mutasi ini, aku memang setuju asalkan Papa dan Mama nggak memaksa Kenanga mempertahankan pernikahan hanya karena ego orangtua. Aku ingin Kenanga bahagia."

"Pasti berat," gumam Diana.

"Aku harus menanggung konsekuensi keputusanku, Di. Percaya atau tidak, omelan Mama mengenai sifat tidak dewasaku terus mendengung semenjak pulang dari Surabaya. Padahal setiap kali bertemu Mama selalu mengataiku nggak dewasa, tapi aku baru tahu artinya saat rumah tanggaku jadi korban," timpalku.

"Aku yakin penyesalanmu nggak akan merugikan, Mas. Ngomong-ngomong Kenanga kelihatan tidak bersemangat. Dia juga sering melamun saat bersamaku. Mungkin banyak pikiran. Kamu sebaiknya menelpon dia. Nggak ada salahnya menyapa. Terus sembunyi dari rasa rindu cuma akan membuatmu gila."

Diana tersenyum, "Aku akan memesan pizza. Kita harus merayakan perpisahan sebelum kamu pindah ke Malang, Mas."

Diana kemudian meninggalkan kamarku. Setelah beberapa menit berpikir, aku merogoh handphoneku di kantong. Kurasa Diana benar, tak apa menelpon Kenanga untuk sekedar tahu kabarnya. Ya kan?

Pemilik HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang