BAB 38

43.5K 4.3K 262
                                    

RISYAD

Dia terdiam menatapku dan bibirnya cuma sedikit berkerut, tapi tak ada kata yang dilontarkannya. 

"Apa aku seburuk itu untuk mengetahui kalau aku akan punya anak denganmu?" tanyaku lagi.

"Kan kita akan bercerai."

"Na! Aku tahu kamu ingin sekali menyingkirkan aku dari hidupmu, tapi Na... Aku ayah anak kita. Itu nggak adil untukku. Apa kamu nggak merasa keterlaluan melakukan ini padaku?" tumpah sudah emosiku.

Aku tahu seharusnya aku tidak mengajaknya berdebat padahal dia baru saja keluar dari rumah sakit. Hanya saja, aku sudah tidak mampu menampung pertanyaan-pertanyaan di otakku ini.

"Maaf, Na. Aku minta maaf sudah berteriak. Seharusnya aku nggak membuat keadaanmu kembali buruk," sambungku ketika menyadari kesalahanku.

Aku mengusap pelan lengannya dan berniat meninggalkan kamar. Kurasa lebih baik aku keluar sebelum makin runyam.

"Kalau kamu tahu, apa kamu akan bahagia? Apa kamu akan langsung percaya ini anakmu?" 

Dia berhasil membuat langkahku terhenti dan badanku berbalik kembali padanya. Tatapannya tajam padaku.

"Apa maksudmu? Tentu aku akan bahagia, Na. Aku akan memiliki anak dari wanita yang aku cintai. Lalu apa maksudmu dengan apa aku akan percaya? Kamu kira aku akan mencurigaimu? Lagipula kalau tidak denganku, siapa yang melakukannya padamu? Panji? Tentu aku nggak akan menduganya, Na. Aku tahu kamu itu seperti apa, nggak mungkin kamu seperti itu," jawabku perih.

"Lalu Tira?"

"Kenapa lagi dengan Tira? Dia baik-baik saja dan dia..."

Aku menghela nafasku dengan kasar, "Sudahlah, Na. Aku benar-benar tidak ingin berdebat. Aku juga tak ingin membuatmu sakit lagi."

Aku melanjutkan langkahku keluar kamar. Saat aku menuruni tangga, Diana sudah berdiri di ujung tangga sembari menatapku. Dia kemudian mengajakku pergi ke teras belakang untuk ngobrol.

"Aku denger sedikit perdebatan kalian," ujarnya ketika sudah duduk bersebelahan di bench.

"Oh ya?"

Dia mengangguk, "Tadi mau jenguk Kenang, tapi ya nggak jadi ketuk pintu karena perdebatan kalian."

Aku mengangguk kecil dan menatap hamparan air kolam di hadapanku.

"Aku terlihat seperti figur ayah yang buruk ya, Di?"

Bukan cuma Diana yang kaget dengan pertanyaan itu, akupun juga heran dengan pertanyaanku barusan.

"Kenapa tanya begitu?"

Aku menghela nafas dan menatap langit di atas, "Karena aku belum bisa mengatakan rahasia Tira dan Dewa, aku sudah dicap tak layak mengetahui keberadaan anakku, Di. Aku benar-benar terluka."

"Kenanga juga terluka, Mas. Apa kamu tahu pantang bagi wanita untuk berbagi pria?"

"Aku nggak selingkuh, Di!" sanggahku kesal.

"Selingkuh tidak harus seputar fisik, Mas. Tapi juga pikiran dan perasaan. Berbagi rahasia dengan wanita lain yang bukan siapapun bagimu, adalah bentuk perselingkuhan pikiran dan perasaan. Jadi, kamu kira Kenanga cuma terluka karena kebohongan? Ayolah, ini jauh lebih dalam."

Aku menatap Diana dengan perasaan campur aduk dan Diana membalas dengan tatapan kesal.

"Aku yakin Kenanga akan memilih bertahan di pernikahan ini, Mas. Sama seperti enam tahun ini. Sayangnya kali ini bukan untuk dirinya, tapi anak kalian. Kalau kamu tidak ingin hubungan kalian kembali seperti enam tahun lalu, kamu harus memperbaiki kesalahanmu."

Pemilik HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang