BAB 39

41.7K 4.2K 240
                                    

RISYAD

Diana masih saja mengomel saat mengetahui progress hubunganku dengan Kenanga selepas mengetahui kami akan segera punya anak. Aku selalu bertambah pusing saat dia sudah melontarkan kata-katanya yang pedas itu.

"Itu bukan kemajuan, Mas. Itu kemunduran. Seharusnya punya anak bisa membuat Kenanga mengibarkan bendera putih, menyerah dengan ide menceraikanmu kemudian melebarkan tangan untuk menerimamu lagi. Tapi kenapa kamu malah bilang gugatan cerai kalian belum dicabut? Dan apa tadi? Kembali ke kamar masing-masing? Astaga yang benar saja!" omelnya.

Aku menghela nafas dengan berat. Andai masih punya tenaga, ingin rasanya aku juga mengomel seperti Diana mungkin aku akan sedikit merasa baikan saat berhasil mengomel. Hanya saja, aku tak punya tenaga untuk memperdebatkan itu lagi. Sekarang aku memang sedang merasa lelah. Bukan lelah karena membujuk Kenanga untuk mempertahankan pernikahan, tapi lelah melihat wajah yang tak kelihatan bahagia itu. Setiap kali melihatku, dia terlihat muak dan ingin menghindariku. Tak hanya itu, kilatan kesedihan dan amarah itu terpancar nyata yang membuatku makin tersudut.

"Apa aku kabulkan saja permintaan bercerainya ya, Di?"

Diana menatapku dengan tajam.

"Aku tak ingin dia makin tertekan, Di. Apalagi dia sedang mengandung."

Tatapan Diana kemudian melunak padaku.

"Kenapa mengatakan itu sih, Mas?"

"Kalau tak bisa jadi sumber kebahagiaannya, setidaknya aku tidak jadi sumber kesedihannya kan?"

Diana mendesah pasrah. Dia pasti tak menduga akhirnya aku menyerah juga dalam pertempuran ini.

"Kamu bagaimana? Kenanga sumber kebahagiaan atau kesedihanmu?"

Kenapa Diana menanyakan hal itu?

Aku terdiam sesaat untuk mencari jawabannya dan menghela nafas.

"Dia adalah sumber kebahagiaan dan kesedihanku sekaligus, Di. Dia yang bisa membuatku ngotot bertahan dan mematahkan semangatku kan? Begitulah cara kerja mencintai. Setiap hari aku terbangun dengan semangat membuatnya kembali, namun ketika aku melihat reaksinya aku tahu dia tak menginginkanku lagi. Dia lelah berada di sisiku, Di. Aku tahu itu, hanya saja aku menebalkan muka dan telingaku selama ini."

"Kamu tahu kan Kenang itu seperti apa, Mas? Sekali kamu melepasnya, dia akan pergi dan nggak akan menoleh lagi."

Aku mengusap mukaku, "Aku tahu, Di. Dia selalu teguh pada keputusannya. Dulu dia pernah mengatakan padaku bahwa jika hubungan kami tidak berhasil, dia akan meminta bercerai. Lihat kan? Dia memegang janjinya."

Diana menggigit bibirnya, "Lalu bagaimana?"

Aku mendesah lagi, "Aku akan membicarakan ini dengannya. Akan kukabulkan permintaannya."

"Lalu anak kalian?"

"Tentu saja aku akan bertanggung jawab untuk anak itu, Di. Aku mencintai bayi kami dan tak akan melepaskan hak serta kewajibanku menafkahi dia meskipun Kenanga yang akan mengasuhnya."

Diana kemudian menghampiriku dan memelukku sekilas.

"Aku masih tak menyetujui ini, Mas. Tapi aku juga tak ingin Kenanga merasa tertekan. Aku tidak tahu kemana aku harus berpihak" ujarnya.

Setelah membuat keputusan itu, aku akhirnya pulang ke rumah. Aku akan menunggu Kenanga di rumah untuk mengatakan keputusanku. Kurasa dia akan bersorak senang saat aku melakukannya kan?

KENANGA

Kami bertiga duduk di sebuah kafe dan memesan minuman kami masing-masing. Tira terlihat santai menghadapiku dan Desi. Dia benar-benar nampak tak paham sudah nyaris menghancurkan dua pernikahan. Senyumnya sesekali keluar kepada kami seolah aku dan Desi menikmati keramahannya.

Pemilik HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang