Sudah beberapa hari ini Lisa maupun Dista tidak ada lagi acara kumpul-kumpul dengan teman-temannya karena masing-masing dari mereka memfokuskan pada ujian kelulusan yang tersisa dua minggu lagi. Walaupun mereka tidak ada kegiatan kumpul-kumpul lagi, Dista tetap mengunjungi rumah Lisa setiap malamnya untuk belajar bersama. Kegiatan ini tidak mereka lakukan hanya baru-baru ini, tetapi kegiatan rutin yang sudah dilakukan saat ingin menghadapi ujian. Baik ujian tengah semester, maupun ujian akhir semester.
"Nomor 32, hasil kamu berapa?" tanya Lisa sambil melihat ke buku hitungan Dista.
"35,8." Dista kembali melanjutkan acara hitung-mehitungnya pada nomor berikutnya.
"Ih, kok beda sama aku." Lisa menyerahkan buku hitungannya ke hadapan Dista. "Coba lihat, Dis! Aku salahnya dimana?"
Dista menghentikan coretan demi coretan angka dibuku hitungannya sejenak untuk mengkoreksi hasil hitungan Lisa. "Caranya udah benar. Coba kamu lebih teliti lagi hitungnya."
Lisa kembali membawa buku hitungannya ke hadapannya. "Ini dikali ini, terus dibagi. Hasilnya dikali lagi. Pindah ke samping jadi dibagi lagi," gumam Lisa sambil kembali meneliti pekerjaannya.
"I got it. Aku udah tahu salahnya dimana." Lisa memperbaiki kembali hitungannya. "The last question for this theory, Dis. Nomor 33 aku enggak paham."
Dista menjelaskan secara terperinci kepada Lisa yang duduk di sampingnya, sedangkan Lisa sangat serius menyimak penjelasannya.
Dista termasuk salah satu murid yang berprestasi pada akademiknya, walaupun ia sering izin saat urusan kantor memerlukannya, atau izin untuk mengikuti berbagai macam tournament basket. Dista benar-benar pandai dalam mengatur waktunya.
"Paham?"
Lisa mengangguk. "I see." Ia langsung mengerjakannya agar ia cepat menyelesaikan materi malam ini yang ia pelajari.
Kalau Lisa bisa dibilang pintar juga enggak, dibilang enggak pintar juga enggak, tapi ia memiliki daya tangkap yang cepat kalau seseorang tersebut menjelaskan hal yang tidak ia mengerti.
Lisa melirik jam dinding yang sudah menunjukkal pukul 21.32 WIB. Berarti ia sudah belajar selama kurang lebih dua jam. "Akhirnya selesai juga materi malam ini." Lisa meregangkan otot-otot jarinya yang terasa tegang. "Menguras otak banget materi malam ini," ujarnya.
"Tapi, udah paham 'kan?" tanya Dista sambil membereskan buku-bukunya, dan memasukkan ke dalam tas.
Lisa mengangguk. "Bentar lagi lulus, dan kita berdua belum ada bahas masalah mau kuliah dimana selanjutnya?" Mereka berdua sejauh ini sama sekali tidak ada membahas masalah pendidikan mereka selanjutnya. Lebih tepatnya Dista saja yang tidak membahasnya. Kalau Lisa beberapa bulan yang lalu ia sempat bercerita sedikit kepada Dista mengenai dua universitas yang akan ia daftar.
"Jadi, kamu pilih universitas yang dimana?" tanya Dista.
"Daftar dua-duanya." Lisa menatap lekat Dista. "Kalau kamu? Kamu belum pernah mau bilang kuliah dimana."
Dista menyerahkan handphone-nya ke Lisa yang menampilkan sebuah pesan bukti dari pendaftaran disalah satu unuversitas luar negeri. "Di London?Kenapa baru bilang sekarang?" ujar Lisa dengan datar.
"Sorry, bukan kemauan aku yang kuliah di sana, tapi kemauan Ayah."
Lisa menghela nafasnya. "Kemauan kamu ataupun kemauan Ayah kamu itu terserah, tapi kenapa kamu baru bilang sekarang? Enggak mungkin 'kan kamu baru-baru ini tahu kemauan Ayah kamu." Lisa memejamkan matanya sebentar untuk menghalau emosinya. "Kamu anggap aku apa, sih, Dis? Susah banget kayaknya terbuka sama aku!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Persist
Teen FictionRelationship goals? Sepertinya itu hanya pandangan orang-orang saja karena kenyataannya enggak ada hubungan yang benar-benar berjalan dengan mulus. Semenjak Dista menjadikan Lisa sebagai kekasihnya. Banyak orang yang mengidam-idam 'kan hubungan sepe...