Hari ini Lisa benar-benar tidak bersemangat menjalani aktivitasnya. Seperti sekarang, teman-temannya pada ke kantin, dan ia cuman berada di dalam kelas dengan menyembunyikan muka di kedua lipatan tangannya di atas meja. Ia di kelas bersama beberapa anak yang jarang keluar kelas, dan hobinya yang selalu belajar.
Entah cuman perasaannya atau apa, ia merasa ada yang memperhatikannya. Hal itu mencoba Lisa mengangkat kepalanya, dan saat itu juga pandangannya bertemu dengan seseorang yang sedang berdiri di depan pintu.
Ketika pandangan mereka bertemu, seseorang yang di depan pintu tadi langsung memutuskan kontak matanya dan langsung beranjak meninggalkan tempatnya berdiri tadi.
Mata Lisa tidak memiliki masalah apa-apa, dan tidak mungkin ia salah lihat. Tanpa pikir panjang Lisa bergegas menyusul orang tersbut dan ia langsung memeluk seseorang tersebut dari belakang tanpa memperhatikan sekitarnya lagi. Orang yang dipeluk Lisa dari belakang tersebut langsung melepaskannya karena sadar di sekeliling mereka banyak pasang mata yang memperhatikan.
Dista mengajak Lisa ke taman belakang sekolah, karena di sana cukup sepi dan tempat yang aman untuk bicara tentang permasalahan mereka.
"Ada apa?"
Lisa menatap lekat kekedua netra Dista. Ia merasa bukan seperti Dista yang ia kenal, apalagi pertanyaan Dista tadi yang terdengar dingin ditelinganya.
"Dis, maaf. Maafin gue atas kejadian minggu lalu, gue cuman ... " belum selesai Lisa berucap, Dista menginterupsinya.
"Enggak usah diinget lagi, kejadian minggu lalu." Memang sudah lebih dari satu minggu sejak kejadian mereka berdua bertengkar karena Lisa yang melontarkan kata putus. Keesokan harinya Lisa tidak ada bertemu lagi sama Dista sampai pada hari ini. Selama satu minggu itu juga komunikasi pun tidak ada.
Selama satu minggu itu Lisa yang sering kumpul sama teman-temannya di kantin juga tidak melihat keberadaan Dista, dan ia berpikir Dista emang sengaja menghindarinya. Teman-temannya pun juga tidak ada yang bertanya atau membahas permasalahannya dengan Dista. Hal tersebut membuatnya menjadi uring-uringan, dan ia juga merasa ada yang kurang dari kesehariannya.
"Dista jangan marah," ucap Lisa sambil menunduk.
"Enggak marah."
"Dis, kita putus?" Bukan sebuah pernyataan tapi pertanyaan yang Lisa lontarkan itu untuk memastikan bagaimana hubungan mereka, terlebih lagi dilihat sikap Dista yang terasa dingin menurutnya.
"Siapa yang bilang? Kejadian minggu lalu, aku nggak iya-in."
"Maaf, Dis."
Dista menangkup kedua pipi Lisa agar menatapnya. "Aku nggak marah. Maaf juga waktu itu aku ngebentak kamu." Lisa merasa lega mendengar suara Dista yang kembali terdengar menghangat ditelinganya.
"Sekarang nggak mau peluk aku lagi kayak di lorong tadi?"
Lisa sekarang benar-benar merasa malu, kenapa tadi ia tiba-tiba langsung memeluk Dista, dan pastinya juga banyak pasang mata yang melihatnya.
Lisa langsung berbalik cepat membelakangi Dista. "Gue mau balik ke kelas dulu." Belum sempat melangkah pergelangan tangan Lisa di cekal Dista.
"Makan dulu di kantin, kamu hari ini kelihatan pucat banget. Kamu sakit?" tanya Dista yang di jawab Lisa dengan gelengan saja.
"Tadi pagi sarapan?" Yang dijawab Lisa dengan gelengan kepala lagi. Kemudian Dista menggandeng tangan Lisa dan mengajaknya menuju kantin.
"Kenapa nggak sarapan?"
"Nggak pa-pa." Tidak ada lagi pembicaraan di antara mereka, dan sesampainya di kantin Dista menyuruh Lisa duluan bergabung di meja teman-temannya, sedangkan ia membelikan makanan Lisa terlebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Persist
Teen FictionRelationship goals? Sepertinya itu hanya pandangan orang-orang saja karena kenyataannya enggak ada hubungan yang benar-benar berjalan dengan mulus. Semenjak Dista menjadikan Lisa sebagai kekasihnya. Banyak orang yang mengidam-idam 'kan hubungan sepe...