38. Family

42 3 1
                                    

Sudah tiga hari Lisa dipindahkan ke ruangan rawat inap, setelah melewati masa koma selama seminggu. Keadaannya sudah sedikit membaik, tetapi masih harus selalu di bawah pantauan dokter, karena Lisa masih mengeluhkan rasa sakit kepala dan sakit pada beberapa titik tubuhnya.

Sedangkan Dista belum ada tanda-tanda membaik, ia masih ditempat kan di ICU. Hal tersebut selalu jadi pertanyaan Lisa sejak kesadarannya sepenuhnya kembali. "Dista gimana?" pertanyaan Lisa setiap hari, karena ia juga belum diperbolehkan untuk banyak bergerak.

"Bunda, Lisa mau lihat Dista," ujar Lisa dengan suara masih lemah pada Mita yang sedang mengupaskan buah.

"Kepala Lisa masih pusing?" tanya Mita yang diangguki Lisa.

"Lisa istirahat dulu ya, Sayang. Nanti kalau udah nggak pusing lagi, baru kita lihat Dista," ujar Mita memberi pemahaman.

"Tapi, Dista gimana, Bun?"

"Dista masih harus istirahat juga, Sayang. Sama kayak kamu."

Mita kembali duduk di samping brankar Lisa. "Sini Bunda suapin. Kamu harus makan yang banyak biar cepat sembuh." Mita menyuapi buah yang ia kupas tadi pada Lisa.

Lisa menerima suapan dari Mita. "Tapi, Dista nggak pa-pa kan, Bunda?"

"Lisa fokus sama kekesehatan Lisa dulu ya, Sayang. Nanti kita lihat Dista sama-sama." Mita kembali menyuapi potongan buah pada Lisa dengan telaten hingga selesai.

"Hai, adek ipar yang cantik," ujar Raka saat memasuki ruang inap Lisa.

"Jangan gangguin Lisa," tegur Mita saat Raka ingin mengacak rambut Lisa.

Raka mencebikkan mulutnya. "Bunda mah gitu sama Raka."

"Jangan berisik!" tegur Mita lagi. "Habis dari mana aja kamu?"

"Habis ada urusan sama Om Pramana, Bunda." Mita menatap menyelidik ke arah Raka yang sudah duduk di sofa.

Raka paham tatapan Bundanya yang tidak mempercayainya. "Tanya sama Om Pram! Bentar lagi Om Pram juga ke sini."

Betul yang di katakan Raka, tidak lama Pramana datang. Ia langsung menghampiri putrinya dan mencium kening putrinya. "Masih ada yang sakit anak Papah?" tanya Pramana sambil mengelus rambut lurus anaknya.

"Masih sedikit pusing kepala Lisa, Pah," ujar Lisa jujur.

"Kata dokter Lisa udah nggak apa-apa. Tapi, harus banyak istirahat dulu," ujar Pramana yang sebelumnya habis dari ruangan dokter menanyakan perkembangan kesehatan putrinya.

Lisa mengangguk patuh. "Iya, Pah."

"Nih, Bun. Tanya Om Pram. Tadi kita ada urusan kan Om?" tanya Raka pada Pramana yang ikut bergabung duduk disebelahnya.

Pramana mengangguk. "Kenapa, Ka?"

"Bunda selalu nggak percaya sama Raka, Om," adu Raka seperti anak kecil.

Pramana mengulas senyumnya, walaupun Raka terlihat slengean dan tidak terlalu perduli dengan ada tidaknya Wijaya, tapi Pramana yakin Raka juga ingin membutuhkan sosok seorang Ayah. "Panggil aja Papah, Ka," ujar Pramana.

"Berarti Lisa nikah sama Raka aja ya," guyon Raka.

"Nggak! Bunda nggak mau Lisa nikah sama kamu," ujar Mita.

"Raka kan juga anak Bunda. Lisa nikah sama Raka juga bakalan jadi menantu Bunda"

"Bunda mau Lisa sama Dista. Kamu cari cewek lain aja!"

"Pah, Papah restuin nggak Lisa sama Raka?" ujar Raka.

"Papah restuin Lisa sama Dista," ujar Pramana.

"Nggak asik! Raka selalu dianak tirikan," ujar Raka seolah-olah sedih.

PersistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang