"Udah berani gak sopan kamu!" tegur Wijaya saat Dista melewatinya begitu saja yang sedang duduk di ruang keluarga.
Dista menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Wijaya. "Jadi saya harus gimana setelah anda melanggar perjanjian anda sendiri?" ucap Dista dengan tenang.
"Sejak kemarin anda melanggar, mungkin perjanjian kita sudah gak berlaku! Dan berarti saya tidak perlu lagi bukan menuruti anda?" lanjut Dista.
Dista berdecak. "Saya sudah ngorbanin nyawa saya buat anda siksa, karena perjanjian itu tertulis jelas, dengan saya yang disiksa anda tidak akan menyakiti Bunda saya!" jelas Dista menerangkan perjanjiannya dengan Wijaya. "Sayangnya anda bukan laki-laki yang tepat akan janji. Perjanjian yang seolah-olah gak ada arti."
"Jangan salah kan saya karena melanggar perjanjian itu. Itu semua Mita yang menginginkannya, Mita yang sok membela kamu!" bantah Wijaya.
"Saya gak tau jalan pikir anda seperti apa, tapi aneh aja, udah jelas-jelas salah masih mau ngelak," kata Dista lalu berbalik meninggalkan Wijaya.
"Mungkin dengan sikap kamu seperti ini, saya bisa berbuat lebih kepada Mita!" tegas Wijaya yang membuat langkah Dista terhenti lagi saat ingin menaiki anak tangga.
"Jangan harap bisa menyentuh Bunda saya!" tegas Dista sebelum ia bergegas melanjutkan langkahnya yang tertunda menuju kamarnya.
Saat di kamar, Dista bergegas ke kamar mandi dan bersiap-siap untuk keberangkatannya ke Bali menemui Helena, dan tentu itu sudah sesuai janji yang ia buat.
Helena menyanggupi tanpa menanyakan berbagai hal, dan paling untungnya Wijaya sudah kembali ke Jakarta. Dista tebak, setelah Wijaya melakukan pertemuan dengan Helena, ia bergegas kembali agar tidak menimbulkan tanda tanya kepergiannya yang tidak diketahui.
Setelah siap dengan pakaian casual dan hanya membawa waist bag yang tersampir di salah satu bahunya, Dista langsunh beranjak ke Bandara bersama supir.
Penerbangan dari Jakarta ke Bali yang memakan waktu kurang lebih 2 jam. Dista sampai di Bali jam menunjukkan pukul 21.00 waktu setempat, dan ia bergegas mencari taxi untuk ke tempat janjinya dengan Helena.
Sampai di suatu resto yang merupakan tempat yang telah dijanjikan, Dista langsung melihat Helena sudah datang dan duduk di salah satu meja dekat jendela.
"Selamat malam, Ma," ujar Dista sambil menarik kursi di hadapan Helena.
"Malam, Dis. Gimana perjalanan ke sini tadi?" tanya Helena berbasa-basi, dan pastinya ia sangat mempertanyakan kedatangan Dista yang begitu dibela-bela kan ke Bali, karena Dista sama sekali belum memberitahu alasan kenapa mereka harus bertemu.
"Lancar, Mah" jawab Dista. "Sebelumnya Dista minta maaf banget ganggu waktunya malam-malam gini."
"Gak pa-pa, Dis. Selagi Mama gak sibuk, no problem."
"Mama apa kabar?"
"Baik. Kamu sendiri? Sama Lisa aman kan?"
"Sedikit gak aman, Ma. Makanya Dista samperin ke sini buat cari kejelasan."
Helena makin dibuat bertanya-tanya dengan pernyataan Dista. "Kejelasan? Kejelasan apa, Dis?"
"Mungkin Mama pasti tahu Dista anak Wijaya kan?"
Helena mengangguk. "Tahu banget kalau kamu anak Wijaya sama Mita."
"Mama kenal Wijaya di mana? Di luar dari bisnis dan media."
"Mama kenal Wijaya udah sejak SMA, sama Mita juga."
"Dista boleh tahu cerita kalian semasa itu?"
Helena mengingat-ingat kembali ceritanya semasa SMA, cerita yang sebenarnya tidak ingin ia ingat lagi. Semasa SMA yang menurutnya benar-benar tidak menyenangkan seperti apa yang ia harapkan sewaktu masa SMP dulu. "Apa Wijaya sekarang masih suka kasar?" tanya Helena sedikit berhati-hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Persist
Teen FictionRelationship goals? Sepertinya itu hanya pandangan orang-orang saja karena kenyataannya enggak ada hubungan yang benar-benar berjalan dengan mulus. Semenjak Dista menjadikan Lisa sebagai kekasihnya. Banyak orang yang mengidam-idam 'kan hubungan sepe...