06. Putus

487 45 11
                                    

Dista berpikir akan mendatangi rumah Lisa karena Lisabdari tadi tidak dapat dihubungi, dan saat menanyakan kepada Rika, katanya sudah pulang duluan.

Memakan waktu kurang lebih duapuluh menit perjalanan dari sekolah menuju rumah Lisa, dan sekitar lima buah rumah sebelum rumah Lisa, ia memberhentikan mobilnya karena melihat Lisa sedang asik berbincang dan tertawa dengan cowok yang tidak ia kenali.

Ia mencoba menghubungi Lisa, namun yang ia lihat Lisa cuman menatap sebentar ke handphone-nya, kemudian mengabaikan panggilan darinya.

Perbincangan Lisa dan cowok yang tidak ia kenali itu ternyata cuman sebentar, setelah cowok yang bersama Lisa tadi sudah pergi dari depan rumah Lisa, baru Dista menjalankan kembali mobilnya.

Lisa membatalkan niatnya untuk menutup pagarnya ketika ia melihat mobil berhenti di depan rumahnya, dan ternyata itu mobil Dista.

Setelah memparkirkan mobilnya, Dista mengikuti Lisa masuk rumah. Sampai di ruang tamu mereka hanya saling diam. Lisa tidak berani menatap Dista yang sedari tadi memperhatikannya. Hati Lisa juga terus berharap agar tadi Dista tidak melihat ia bersama cowok lain.

"Tadi buru-buru, jadi enggak sempat ngabarin. Maaf, Dis," ujar Lisa memulai percakapan.

"Enggak sempat atau emang sengaja?" Lisa semakin dalam menunduk ketika mendengar pertanyaan Dista yang seolah-olah bisa membaca pikirannya.

"Maaf."

"Aku lihat tadi di depan pagar kamu megang handphone, dan tahu ada panggilan telpon dari aku, tapi telpon aku nggak sepenting cowok itu ya," ujar Dista dengan pembawaan yang santai dan tenang, namun tetap saja membuat Lisa takut.

Dista yang duduk di samping Lisa menggengam tangannya seolah-olah menyampaikan kalau ia tidak marah, hanya saja ia ingin Lisa berkata jujur. "Aku enggak marah, aku cuman mau tahu aja, cowok tadi siapa?"

"Dia kakak kelas kita, namanya Rafi. Kemarin enggak sengaja kesenggol di lorong dan numpahin minuman dia, terus dia minta ganti rugi, dan sebagai ganti ruginya dia minta makan bareng pulang sekolah tadi di cafe seberang sekolah. Gue nggak enak jadi gue iya-in," ujar Lisa berterus terang.

"Gue nggak bilang karena gue juga enggak enak sama lo. Setidaknya gue ngehargain perasaan lo kalau gue nggak bisa ngebalasnya." Lisa menatap Dista dengan perasaan bersalahnya.

"Lain kali jujur aja, kalau ngilang tiba-tiba kayak tadi aku takut kamu kenapa-kenapa. Kamu juga hati-hati sama orang, jangan asal terima ajakannya!"

"Maaf, Dis." Dista mengangguki ucapan Lisa.

"Ganti baju dulu sana, habis itu temanin aku cari makan."

"Sebagai permintaan maaf, lo makan disini aja, biar gue masakin nasi goreng mau?"

Dista menepuk puncak kepala Lisa. "Mau pakai banget."

Mereka berdua beranjak dari duduknya menuju dapur, kemudian Lisa dengan cekatan mempersiapkan bahannya kemudian memasaknya. Ia sudah terbiasa karena emang sering memasak nasi goreng dan berhubung hanya nasi goreng dan mie instan saja masakan yang ia bisa.

Sekitar sepuluh menit nasi goreng sosis dengan telur mata sapi terhidang dihadapan Dista. "Kamu nggak ikut makan?" tanya Dista dengan heran, karena hanya satu porsi saja yang terhidang.

"Masih kenyang, lo aja makan."

"Enak?" tanya Lisa setelah Dista menyuapkan suapan pertama kemulutnya. Dista meresponnya hanya dengan anggukan karena ia sangat menikmati nasi goreng buatan Lisa.

"Lis, orang tua kamu emang jarang pulang? Setiap kali mampir ke rumah kamu, tapi aku nggak pernah liat mereka?" tanya Dista setelah menyelesaikan makannya.

PersistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang