47. Our Plan

41 4 1
                                    

"Semangat, Dista!" seru Lisa riang saat melihat Dista menjalani terapinya. Ia sangat senang melihat Dista sedikit demi sedikit sudah dapat berjalan tanpa berpegangan.

Pendamping terapi sigap menangkap tubuh Dista yang hampir jatuh.

"Good job, Dis! Perkembangan kamu udah sangat bagus. Di luar terapi teruslah berlatih," kata dokter yang memberikan terapi pada Dista.

Sudah kurang lebih sepuluh bulan Dista menjalani terapi fisiknya agar masa-masa ototnya yang lemah diakibatkan terlalu lama koma dapat kembali seperti semula. Terisisa kakinya saja yang masih belum sepenuhnya pulih, selain kaki, keadaan Dista dinyatakan benar-benar sembuh total dan diperbolehkan untuk rawat jalan. Dista dan seluruh orang-orang terdekatnya merasa itu sungguh keajaiban yang sangat luar biasa dan patut disyukuri.

Dista yang sudah kembali duduk di kursi roda mengangguki penjelasan dokter. "Baik, Dok."

"Sampai ketemu di pertemuan selajunjutnya," kata dokter yang diangguki Dista.

"Kalau begitu kami pamit dulu, Dok," ujar Lisa, lalu ia mulai mendorong perlahan kursi roda Dista.

"Hari ini kamu ada jadwal?" tanya Dista setelah mereka keluar dari ruangan terapi.

"Aku kebagian jadwal sore."

"Cafe for relax, Dear?" tanya Dista pada Lisa yang terus mendorong kursi rodanya menyusuri lorong rumah sakit.

"Let's go," sahut Lisa dengan senang. Ia mendorong kursi roda Dista menuju kafe yang tersedia di rumah sakit tersebut dan sudah menjadi langganan Lisa.

"Siang Dokter Lisa," sapa salah satu rekan Lisa bernama Haris.

"Siang." Kalau kalian berpikir Lisa yang menjawab, itu salah. Dista yang menjawab sapaan rekan Lisa tersebut.

"Lanjut jalan, Lis," kata Dista saat melihat Haris ingin membuka percakapan lagi.

"Duluan, Dok," ujar Lisa yang diangguki Haris.

Lisa menggeleng-geleng gemas melihat sikap Dista tadi. "Kayaknya saraf kamu perlu diperiksa ulang lagi, Dis."

Dista mengerutkan keningnya. "Whats wrong?"

"Kamu makin posessif semenjak sadar dari koma."

Dista mendongak ke arah Lisa. "You're mine!" ucapnya tegas.

Kalau sudah begini, Lisa tidak tahu harus berbicara apa lagi. Didebat pun ujung-ujungnya ia akan kalah .

"Pesan apa, Dis?" Setelah mereka sampai di salah satu meja yang berada di kafe tersebut.

"Hot chocolate."

"Okei, Babe. Wait a minute!"

Tidak perlu waktu yang lama Lisa memesannya dan ia dengan cepat kembali ke mejanya. "Kata Bunda kamu benaran udah mulai kerja?"

"Keduluan Bunda ya, ngasih tahu," kata Dista sedikit waspada, takut kekasihnya ini marah karena bukan ia yang mengasih tahu. "Baru, Lis. Baru kemarin."

"Masuk kantor?"

"Enggak, Sayang. Dari rumah kerjanya, karena Bang Raka bilang dia kewalahan. Apalagi dia sibuk sama persiapan pernikahannya."

Lisa mengangguk-angguk paham, karena selama ini Raka juga sering mengeluh padanya, bahwa ia tidak semahir Dista dalam memimpin perusahaan, untungnya Vito tidak terlalu memaksakan Raka untuk terus meningkatkan eksistensi perusahaan dan memaksanya menjalin kerja sama baru dengan pihak investor. Vito hanya menyuruhnya untuk mempertahankan agar berjalan stabil.

PersistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang