Selepas dari Bali, penerbangan Dista tidak langsung kembali ke Jakarta, tapi ia terlebih dahulu ke Bandung. Tempat orangtua dari Ibunya tinggal.
Saat memasuki rumah Kakek dan Neneknya, Dista disambut dengan kesunyian. Ia hanya melihat beberapa pekerja rumah tangga yang sibuk dengan kerjaan masing-masing, dan sama sekali tidak melihat keberadaan pemilik rumah.
"Den, Dista?" tanya seseorang yang berada di belakangnya.
Dista berbalik menghadap sumber suara. "Oh, iya, Bi."
"Aden kapan datang?" tanya salah satu pekerja rumah tangga yang sudah lama bekerja di sini.
"Barusan, Bi."
"Oh, iya, Bi. Kakek-Nenek di mana?" tanya Dista.
"Tuan sama Nyonya ada di taman belakang, Den. Mau Bibi antarkan?"
"Gak pa-pa, Bi. Biar Dista sendiri aja," ujar Dista yang diangguki patuh oleh asisten rumah tangga itu.
Dista mengayunkan kakinya menuju halaman belakang rumah, saat berada di pintu perbatasan dalam rumah dengan taman belakang, Dista melihat sang Kakek dan sang Nenek asik dengan aktivitas mereka masing-masing di pendopo. Neneknya yang sedang asik menyulam, dan Kakeknya terlihat sangat asik dengan buku bacaan.
Ia juga merasa kagum pada Kakek-Neneknya yang masih begitu harmonis dan terlihat masih sangat serasi walaupun umur mereka sudah tidak muda lagi.
Dista menghampiri Vito dan Rani. "Assalamualaikum, Kek-Nek."
"Waalaikumsalam," jawab Rani.
"Nih, Kek. Cucu kita yang ngelupain kita," ujar Rani ---Nenek Dista.
"Gak mungkin Dista lupain kalian," kata Dista sambil ikut bergabung duduk di pendopo.
"Emang Nenek kamu yang lebay, Dis," sahut Vito ---Kakek Dista.
"Kakek sama Nenek sehat?" tanya Dista.
"Alhamdulillah, sehat. Kamu sendiri gimana? Ke sini sendiri?" tanya Vito.
"Kamu kenapa kelihatannya capek banget gitu?" tanya Rani yang melihat dari mata cucunya yang begitu terlihat lesu.
Dista merebahkan dirinya dipaha Rani. "Dista udah gak tahan, Kek, Nek, lihat Bunda yang selalu disakitin. Lihat cowok yang gak bisa dipegang janjinya," ujar Dista dengan pandangan lurus ke atap pendopo.
Rani mengesampingkan sulamannya, lalu beralih mengusap lembut rambut legam cucunya. "Coba ceritain sama Kakek-Nenek."
"Kalau Ayah gak cinta sama bunda dan cuman bisa nyakitin, kenapa mereka menikah?" tanya Dista. "Sekarang Dista udah gak bisa diam lihat Bunda disakitin."
"Bundamu sangat keras kepala dan naif. Apa Wijaya main tangan?" tanya Vito yang diangguki Dista.
"Udah dari kapan?" tanya Vito lagi.
"Mungkin selama usia pernikahan mereka Bunda sering banget dapat kekerasan fisik dari Wijaya." Pernyataan Dista membuat Vito dan Rani saling bertatapan penuh arti.
"Ceritakan lah, To," ujar Rani pada Vito. "Biarkan cucu kita tahu. Aku yakin dia bisa mempertimbangkan segala sikapnya nanti." Vito terdiam sejenak memikirkan berbagai pertimbangan terhadap titahan Rani.
"Kamu tahu, Dis. Bundamu itu orangnya naif. Terkhusus soal percintaan," ujar Vito. "Bundamu itu sudah suka sama Wijaya sejak SMA, tapi rasanya gak terbalas, karena Wijaya udah punya pacar saat itu, dan disaat Wijaya putus sama pacarnya, Bundamu memberanikan diri buat dekat sama Wijaya. Tapi, tetap sama Wijaya gak bisa balas perasaan Bundamu."
Dista bangun dari rebahannya. "Apa disaat itu Kakek tahu Wijaya itu orangnya kayak gimana?" tanya Dista.
"Tentu Kakek tahu. Jangan kan Wijaya, semua cowok yang dekatin Bundamu dulu, pasti Kakek cari tahu dulu gimana rekam jejak sikapnya di sekolah ataupun lingkungannya."
"Terus gimana sikap Wijaya waktu dulu?"
"Rekam jejak Wijaya emang pernah dan sering main tangan ke mantan-mantannya," ujar Vito sesuai dengan informasi yang ia dapat dulu. "Bunda kamu sudah tentu Kakek larang keras buat dekat sama Wijaya, tapi namanya Bunda kamu yang keras kepala, ia menghiraukan larangan Kakek tentang hal ini."
"Singkat cerita, perasaan Bundamu belum terbalas sampai mereka lulus sekolah, dan di sana mereka terpisah, udah lost contact juga. Tapi, sayangnya dua atau tiga tahunan gitu mereka ketemu lagi tanpa sengaja disalah satu kafe," lanjut Vito. "Dari pertemuan itu mereka jadi dekat, dan sampai di mana Wijaya berani nemuin Kakek buat minta izin nikahin Bunda kamu."
"Sangat Kakek larang keras, dan setelah itu Bunda kamu benar-benar berada di bawah pengawasan Kakek agar tidak berhubungan sama Wijaya."
"Saat itu Wijaya berusaha keras mencari restu dari Kakek, dan sangat meyakinkan Kakek kalau ia sudah berubah," ujar Vito sambil mengingat-ingat kembali kejadian dimasa itu. "Melihat keseriusan dan kegigihannya mencari restu tentu saat itu Kakek luluh sama usahanya, lalu mereka berdua menikah setelah Bunda kamu menyelesaikan gelar sarjana kedokterannya."
"Selama mereka menjalin hubungan sebelum menikah, tentu masih di bawah pengawasan Kakek, dan selama itu mereka berdua menjalin hubungan emang aman-aman aja. Sampai menikah pun gak ada hal-hal yang janggal," Vito menghela nafas kasar. "Ternyata dalam pernikahannya Bunda kamu yang pintar banget nyembunyiin kekerasan yang dilakuin oleh Wijaya."
Dista bangun dari rebahannya dan menatap serius Vito. "Kalau Dista laporin ke pihak berwajib?"
"Apa plan kamu kalau berpengaruh sama perusahaan?"
"Adakan konferensi pers dan mengungkap semuanya. Karena, berita pernikahan Bunda dulu juga pasti mengundang tanda tanya. Seorang putri tunggal Freano menikah dengan orang yang diluar dari dunia bisnis dan bisa dibilang orang biasa. Berita pernikahannya pun cuman tersorot saat resepsi," terang Dista yang membuat Vito dan Rani saling berpandangan mengisyaratkan seakan-akan cucu mereka ini ternyata bukti akan sebuah kata-kata 'Orang pendiam seperti air yang tenang, dalam dan berbahaya'.
"Kakek sama Nenek tahu kenapa Wijaya bisa gitu sama Bunda? Pasti ada alasan dan sebabnya kan Wijaya bersikap gitu sama Bunda?"
"Kamu udah sejak kapan mencari tahu tentang Wijaya, Dis?" tanya Rani bertanya balik.
"Baru belakangan ini, setelah Wijaya ingkar janji."
"Janji apa?" tanya Vito.
"Dia gak akan nyakitin atau main tangan sama Bunda, selagi Dista selalu nurut sama Wijaya, dan gak melawan kalau Wijaya sering kasih hukuman ke Dista," jujur Dista yang membuat Vito dan Rani syok.
"Hukuman apa?"
Dista tidak menjawab, akan tetapi ia balik badan dan memunggungi Vito dan Rani. Hal itu makin membuat Vito dan Rani semakin syok saat Dista menyingkap bajunya melihatkan punggung belakang yang penuh luka bekas dipecut dan lebam.
"Ka...kamu kenapa gak bilang sama Kakek-Nenek, Dis," ujar Rani yang sedikit sesegukan setelah melihat punggung cucunya.
Dista kembali berbalik badan menghadap Vito dan Rani. "Dista gamasalah jadi korban selama Wijaya gak ada nyentuh orang yang Dista sayang."
"Wijaya benar-benar keterlaluan dan gak tahu diuntung! Biar Kakek yang turun tangan selesain masalahnya!" ucap Vito emosi.
"Gak, Kek! Biar Dista selesain dengan cara Dista sendiri! Serahin dan percayain sama Dista."
"Akan Kakek awasin!" ucap final Vito yang diangguki Dista.
---
Hola, Persist balik lagiii! Hope u enjoy
Sampai ketemu di chapter selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Persist
Teen FictionRelationship goals? Sepertinya itu hanya pandangan orang-orang saja karena kenyataannya enggak ada hubungan yang benar-benar berjalan dengan mulus. Semenjak Dista menjadikan Lisa sebagai kekasihnya. Banyak orang yang mengidam-idam 'kan hubungan sepe...