04. Cowok Aneh

584 56 27
                                    

Sehabis menemaninya pemotretan selama dua setengah jam, ia terlebih dahulu mengajak Lisa makan di salah satu cafe langganannya sebelum mengantar Lisa pulang.

Tidak ada pembicaraan setelah mereka memesan makanan. Dista sibuk dengan handphone-nya. Lebih tepatnya dengan game online-nya. Sedangkan Lisa dari tadi hanya memperhatikan Dista.

Lamunan Lisa terpecahkan oleh usapan lembut di pipinya. "Kenapa melamun?"

Lisa menggelengkan kepalanya sebagai jawaban dari pertanyaan Dista.

"Yakin?"

"Mau nanya," ujar Lisa yang diangguki Dista.

"Nanya apa?"

"Lo kenapa milih gue? Jelas-jelas gue enggak bisa nerima lo sebagai pacar gue, padahal lo banyak di kelilingi model-model cantik yang bersedia jadi pacar lo?"

"Nyaman dipandang bukan berarti nyaman di hati, tapi kalau nyaman di hati udah jelas nyaman di pandang," ujar Dista.

"Sebenarnya yang ada di pikirin lo itu apa sih sampai mengklaim gue jadi pacar lo?"

"Seperti aku bilang di awal, aku enggak mau keduluan orang lain. Kalau kamu udah jadi milik aku, aku bakalan tenang karena enggak ada yang bisa lagi ngerebutnya. Apa yang udah jadi milik aku, aku bakalan jagain seutuhnya." Dista menggenggam kedua tangan Lisa di atas meja. "Kalau pun ada yang mau rebut kamu dari aku, aku berhak mempertahankannya, dan berhak marah karena status kita jelas. Kamu pacar aku."

"Tapi gimana sama perasaan gue? Perasaan gue sama lo masih sebatas teman, dan apa yang dikatakan Andra emang benar. Seolah-olah gue mempermainkan lo," ujar Lisa membuat kedua sudut bibir Dista tertarik membentuk sebuah senyuman.

"Kenapa nanya sama aku tentang perasaan kamu?"

"Gue enggak enak sama lo. Dengan perasaan gue gini, yang ada nyakitin perasaan lo," ucap Lisa begitu jujur yang membuat Dista mengacak gemas rambut Lisa.

"Bukannya kamu yang bilang sendiri, aku suka sama kamu itu hak aku, berarti gitu juga sama kamu, kamu masih menganggapku sebagai teman itu juga hak kamu."

Lisa menundukkan kepalanya dalam-dalam, ia merasa tidak enak dengan Dista. Ya, dia sadar kalau dia bodoh, tapi ini menyangkut perasaan, dia enggak mungkin 'kan berpura-pura untuk menyukai Dista. Yang ada kalau dia begitu sama saja menambah sakit perasaan Dista. Lisa kembali menatap Dista. "Dista, maaf," ujarnya dengan begitu pelan.

"Kenapa minta maaf? Kamu enggak ada salah. Jangan paksain perasaan kamu. Aku ngerti," Dista mengelus lembut pipi Lisa sebelum melanjutkan ucapannya. "Biarin waktu yang jawab usaha aku, dan biarin waktu yang menentukan perasaan kamu."

Setelah itu tidak ada pembicaraan lagi diantara mereka karena terinterupsi oleh pelayan cafe yang mengantarkan pesanan mereka berdua. Selama makan pun tidak ada pembicaraan.

"Dis, habis ini kemana?" tanya Lisa setelah selesai menghabiskan makanannya.

"Pulang," ucap Dista yang diangguki Lisa. Walaupun ia mengangguk tapi di dalam hatinya ada kata yang tertahan untuk disampaikan, dan untungnya Dista menyadari itu.

"Emang mau kemana lagi?" tanya Dista.

Lisa melihat jam yang melingkar di tangan kirinya menunjukkan pukul tujuh malam. "Ke pasar malam yuk, mau enggak?" tanya Lisa yang diangguki Dista. Kemudian mereka berdua beranjak meninggalkan cafe setelah Dista membayarnya.

Menuju pasar malam yang dimaksud oleh Lisa memakan waktu setengah jam dari cafe. Sesampainya di pasar malam, mata Lisa berbinar bahagia ketika melihat berbagai macam wahana dan jajanan.

PersistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang