16. Sunset

240 21 1
                                    

Dista : Sekitar satu jam lagi aku jemput.

Lisa yang lagi scroll media sosial langsung dibuat kaget oleh notifikasi dari Dista karena sejak ia sakit kemarin, mereka jarang bertukar pesan, kecuali bertemu waktu di sekolah. Sebab, Dista sibuk dengan urusan kantor, sehingga jarang memainkan handphone-nya. Ia buru-buru membuka room chat-nya dengan Dista.

Lisa : Mau kemana, Dis? Bukannya kata kamu lagi sibuk?

Satu menit. Dua menit sampai lima menit tidak ada tanda-tanda balasan dari Dista. Lisa berpikir, mendingan ia siap-siap saja terlebih dahulu.

Sekitar setengah jam bersiap-siap. Lisa kembali mencek handphone-nya. Masih sama, tidak ada balasan dari Dista. Terakhir dilihatnya pun juga masih sama seperti tadi.

Ia melihat Dista mengirimi pesan tadi pukul 15.02 WIB, kalau satu jam dari Dista mengirimkan pesan, berarti sekitar pukul 16.00 WIB ia akan dijemput.

Sekarang baru menunjukkan pukul 15.41 WIB, berarti sekitar duapuluh menitan lagi. Lebih baik ia kembali membaca novelnya sembari menunggu.

Baru beberapa halaman yang ia baca, handphone-nya berdering menampilkan nama Dista di sana.

"Di depan," ujar Dista to the point saat telpon sudah terhubung. Setelah itu telpon kembali terputus.

Lisa bergegas keluar dari kamarnya dan turun ke bawah. Saat berada di anak tangga terakhir ia berteriak untuk berpamitan dengan Darmi. "BI, LISA PERGI DULU SAMA DISTA."

Darmi yang sedang mencuci piring bekas makan siang tadi, langsung menghampiri Lisa yang sudah di depan pintu.

"Iya, Non. Hati-hati, ya."

"Iya, Bi."

Lisa membuka pintu, dan tidak menemui Dista di sana, tapi ia melihat mobil Dista yang terparkir di depan pagar rumahnya.

Lisa terlebih dahulu mengetuk kaca mobil Dista untuk memastikan. Bukan kacanya yang terbuka, tetapi pintu mobilnya yang dibuka 'kan oleh Dista dari dalam. Setelah itu Lisa masuk, dan langsung dibuat khawatir saat melihat sudut bibir Dista yang lebam.

"Dis, kamu kenapa? Kenapa jadi lebam gini? Habis dipukulin siapa? Berantem sama siapa?" tanya Lisa beruntun dengan panik sambil menyentuh sudut bibir Dista.

Dista menarik tangan Lisa yang menyentuh sudut bibirnya untuk digenggam. "Aku enggak pa-pa. Enggak usah khawatir, ya."

Lisa menyentak tangannya yang digenggam. "Enggak pa-pa gimana?! Itu buktinya kamu lebam!"

"Lebamnya sedikit aja, Lis. Besok pasti udah hilang. Udah aku obatin juga kok."

Dista menangkup pipi Lisa dengan kedua tangannya. "Aku enggak pa-pa, Sayang." Kedua tangannya yang masih menangkup pipi Lisa, ia mengusap lembut dengan kedua ibu jarinya. Dista berusaha menenangkan Lisa, dan meyakinkan kalau ia baik-baik saja karena Dista sudah mengetahui pacarnya ini tidak bisa melihat orang sekitarnya terluka yang disebabkan oleh kejadian buruk dimasa lalu.

Kejadian saat Lisa menjadi saksi saudara perempuannya menjadi korban pelecehan dan kekerasan oleh sang kekasih. Hal itu meninggalkan bekas pada Lisa. Bekas yang menimbulkan rasa khawatir berlebihan dan panik saat Lisa melihat orang sekitarnya terluka.

"Ya, terus kamu kenapa bisa sampai lebam gitu?" tanya Lisa menuntut Dista untuk menjawabnya.

"Waktu jalan kesini ban mobil sempat bocor, terus aku ganti bentar, tapi pas aku benarin ada yang buka pintu mobil, ternyata mau nyuri. Yaudah, akhirnya pukul-pukulan. Di sana jalannya emang sepi," jelas Dista dengan ada rasa penyesalan.

PersistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang